Aspek haram, Etika dan Pidana Facebooker

Kamis, 20 Agustus 2009



(Sindiran Facebook yang Diharamkan Para Ulama Jawa Timur)


Aspek Etika, Haram dan Pidana di FACEBOOKER & BLOGGER

Kampanye Politik Negatif
Kampanye politik yang saling menyerang secara negatif atau kampanye hitam (black campaign or negative campaign) antar sesama Capres/Cawapres (calon Presiden dan Calon Capres), Caleg (calon legislatif) dan Parpolnya (partai politik ) dari panggung kampanye terbuka telah usai, kini diramaikan perang ‘saling hujat menghujat’ beralih ke situs media jejaringan sosial Facebook (FB), yang ‘mempostingnya’ belum diketahui sumber dari orang Indonesia yang berada diluar negeri yang luput dijangkau oleh aparat hukum pidana (cybercrime unit). Kampanye hitam politik melalui FB tersebut semakin liar yang sulit dibendung atau memang tidak mampu dicegah oleh penegak hukum melalui media on line internet, yang terkesan sangat bebas dan terbuka tanpa batas (borderless), sekaligus dapat diakses dengan mudah oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun yang isinya hanyalah ‘sampah,’ mencaci maki, senaknya menghina, menghasut, mencemarkan nama baik serta menyerang hingga melecehkan sebagai ‘objek lelucon yang tidak lucu’, tidak etis demi menyebarluaskan kebencian terhadap pihak lain secara tidak bertanggung jawab.
Terkena dampak kampanye hitam di FB yang sengaja menyerang beberapa tokoh menjadi objek sasarannya, yaitu Calon Presiden (Capres), seperti misalkan bertemakan; Say “No!!!” to Mega, yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri yang sekaligus sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Seperti halnya yang sama menghujat Mbak Mega, maka Prabowo yang tidak terlepas oleh penerbit FB tersebut melakukan black campaign, bertema SAY NO to Prabowo, dengan sengaja membuka rekam jejak (track record) masa lalu tentang sosok Capres Prabowo Subianto mantan Danjen Kopassus tersebut yang diduga pernah menjadi dalang aksi penculikan sejumlah aktivitis di era pemerintahan orde baru, dan termasuk menyamakannya sebagai Soeharto jilid ke-2 yang menggambarkan foto profilnya yang diunggah dengan belakang gambar Soeharto.

Web-Blogger Simpatisan Teroris
Hal lain, Laman atau Web-Blogger yang diposting dari luar negeri atau dikelola Bushro (Tanpa identitas jelas) sebagai simpatisan ‘teroris’ Noordin M. Top yang beralamat: hhtp://www.mediaislam-bushro.blogspot.com/, yang telah menyampaikan pesan bertanggung jawab atas pengeboman bunuh diri dua hotel di kawasan Mega Kuningan (pada 17/7/09) dengan sejumlah korban jiwa tewas dan yang terluka sebagai akibat perbuatan 'jihad sesat atau jahat' yang tidak sesuai dengan ajaran islam yang justru cinta perdamaian dan prinsip "Rachmatan lil Alamin". Anehnya, banyak pengikut atau komentar yang mengakses sekitar 2780 lebih yang sebagian besar tidak mendukung dan bahkan memaki habis-2an tentang tindakan pengeboman bunuh diri yang salah kaprah melakukan ideologisme berbentuk ‘jihad jahat’ yang berlabelkan ajaran agama Islam secara sesat tersebut. Termasuk situs internet pendukung lainnya yang kini banyak bemunculan untuk mendukung gerakan jihad jahat yang mengusung ideologi “teroris” di Indonesia.

Facebook diharamkan Ulama Jawa Timur
Termasuk pihak Forum Bahtsul Masail (BMP), Putri XI Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada pertengahan Mei 09, yang mengeluarkan fatwa untuk mengharamkan penggunaan media jejaringan sosial (3G, Friendster dan hingga Facebook) jika dipergunakan untuk tujuan mengubarkan "nafsu syahwat", ujar jubir Forum BMP, Nabil Haroen (Tempo, 25/05/09). Persoalan fatwa haram yang diterbitkan tersebut selalu tidak efektif, dari pengalaman MUI, sebelumnya pernah mengeluarkan fatwa haram untuk menonton Infotainment di saluran TV komersial dan 'pelarangan merokok', termasuk yang baru-baru ini MUI mengeluarkan fatwa tindakan teroris itu haram hukumnya, sayangnya fatwa MUI tersebut tetap selalu tidak digubris oleh masyarakat, khususnya umat muslimnya.

Facebook Dimanfaatkan Paus Benediktus
Sebaliknya,sejumlah kaum ulama di tanah air 'heboh' yang mengharamkan umat muslim menggunakan media on-line Facebook tersebut. Justru kini tokoh Pemimpin Takhta Suci Vatikan, Paus Benediktus XVI memanfaatkan media jejaringan sosial Facebook dan iPhone yang merupakan langkah baru untuk penyebaran pesan-pesan agama dari gereja melalui media komunikasi internet secara efektif, cepat dan komunikatif kepada umatnya di seluruh dunia. Benediktus, justru "mengingatkan wanti-wanti bahwa media jejaring sosial tersebut dapat membuat seseorang menjadi obsesif dan terasing."

Etika Pengguna Media Facebooker dan Blogger
Memang, cukup menyenangkan bagi sedikitnya 35 juta pengguna internet, dan khususnya sekitar 6,5 juta komunitas atau nitizen yang menggunakan media jejaring sosial (facebook, twitter, mayspace dan blogger sebagainya) untuk menjalin ‘pertemanan’, dan disamping itu pihak pengguna (user) harus memperhatikan code of conduct (kode prilaku) yang terkait dengan etika dan normatif atau yang disebut sebagai self impose ethics (etika kesadaran pribadi) dan secara normatif untuk mengurangi resiko atau terjadinya pelanggaran dalam berkomunikasi penyampaian pesan tertulis, gambar dan hingga video melalui media on-line facebook, Mayspace, Youtube dan blogger sebagainya yaitu etika sebagai pengguna (akses) media jejaring sosial tersebut, dengan tips-tipsnya sebagai berikut:
  1. Kenali dahulu perbedaan istilah Share (bergabung) Wall (dinding), Comment (komentar) lebih bersifat umum dan terbuka, sedangkan Message (pesan) lebih ditujukan bersifat pribadi ketika menggunakan media on-line facebook.
  2. Selalu memposting, Anda sebagai pemilik akun atau nara sumber pengguna media on-line tersebut, seperti nama yang benar, pendidikan, agama, tentang hobi atau minat, status pribadi, tgl. kelahiran dan hingga alamat e-mail (jika diperlukan). Tetapi tidak terlalu mengubar informasi data tentang pribadi secara berlebihan, misalnya seperti tidak perlu mencantumkan no. mobile telephone (HP) atau telepon rumah pribadi (kecuali anda sebagai profesi PR, penggiat promosi atau pemasaran), hingga tahun kelahiran, No. PIN ATM, posisi Anda dikantor, nama atasan dan hingga kegiatan produksi kreatif perusahaan dan sebagainya yang memang perlu dirahasiakan.
  3. Penggunakan kata-2 atau kalimat tertulis dan hingga mengunggah gambar-gambar yang selalu tetap dalam koridor aspek-aspek etika moral, etis, kesopanan, santun, tidak melanggar kesusilaan (pornogafi dan pornoaksi) dan saling menghargai pihak lainnya untuk mengajak berkomunikasi sebagai ajang membangun pertemanan secara positive thinking, beritikad baik dan kejujuran.
  4. Tidak dalam upaya untuk melecehkan atau merendahkan nilai-nilai tata krama sosial kemasyarakatan, kebudayaan, agama, etnik/suku, dan hingga berkaitan dengan hasil karya-kreatif yang ‘dikemplang’, prestasi, pigur atau ciri khas sosok tubuh, jabatan, profesi, nama baik dan hingga martabat seseorang sebagainya sebagai objek lelucon yang tidak lucu.
  5. Tidak melakukan sesuatu kegiatan melalui gambar-2 atau tulisan berupa ancaman, menyerang dan hingga memprovokasi serta penyebarluasan sesuatu bentuk penipuan atau kebohongan (informasi, pesan dan berita) kepada pihak pengguna lainnya secara tidak bertanggung jawab.
  6. Secara langsung Anda tidak mudah terbujuk mengenai suatu ajakan atau undangan dari pihak yang tidak dikenal, misalnya memperoleh friend request yang tidak langsung di-approve dan terlebih dahulu ''check dan recheck" untuk terhindar dari bentuk jebakan penipuan.
  7. Ketika melakukan komunikasi kampanye untuk membujuk atau ingin menggalang opini publik dari komunitas melaui blogger atau facebooker lainnya, misal bertema ajakan SAY TO Yes…. or SAY to No…. yang dapat berdampak positif atau negatif, karena konsekuensinya terhadap domain pelanggaran etika, normatif dan hingga tindakan hukum pidana (KHUP atau Cybercrime) yang bermaksud untuk suatu tindakan bermufakat bersama-sama mengajak orang lain berbuat sesuatu kejahatan atau berniat menyerang pihak lain tanpa hak.
Delik Pidana On-line Facebook
Menjadi pertanyaan, kasus tersebut sebetulnya dalam hukum komunikasi (KUH-Pidana) yaitu telah diatur pada pasal-pasal mengenai delik pidana tentang penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang, yaitu terdiri pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), pasal 311 ayat (1), pasal 316 dan 207 dalam KUH Pidana. Maka pasal-pasal tersebut masih tetap dipertahankan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dan sebelumnya telah menolak (Koran Tempo, 16/8/2008) atas permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan oleh mantan dua wartawan senior, Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis yang telah divonis bersalah oleh pengadilan negeri di Sleman dan Depok yang mengganggap bahwa pasal-pasal penghinaan tersebut bertentangan dengan konsitusi. Namun pihak MK beralasan lain untuk tetap mempertahankan pasal-pasal tersebut demi pelindungan umum (general prevention) terhadap nama baik, reputasi, martabat dan kehormatan seseorang atau kelembagaan yang harus dilindungi hukum oleh KUH Pidana dan sekaligus tidak bertentangan dengan konstitusi UU 1945.Dalam UU Pemilu N0. 10/2008 yang sebetulnya secara material pasal-pasalnya menyangkut ketentuan delik pidana penghinaan, menghasut dan hingga pencemaraan nama calon atau peserta Pemilu, termasuk menyerang agama, suku dan ras yang terdapat pada Pasal 84, ayat (c) dan (d), juncto 270 akan dikenakan sanksi hukuman minimal 6 bulan hingga 24 bulan serta dikenakan denda sebesar Rp 6 juta dan hingga maksimal 24 juta.

UU Cybercrime (UU-ITE)
Sanksi pidana yang sama terhadap kasus pelanggaran penghinaan pada pasal 27 ayat (3) dalam UU-ITE (Informasi Transaksi Elektronik) atau dikenal dengan istilah cybercrime yang telah disahkan pada awal tahun 2008. Terdapat adanya pasal-pasal yang lainnya berkaitan dengan pelanggaran penghinaan, pencemaran dan hingga unsur pemerasan atau ancaman dalam UU cybercrime tersebut, yang selain dikenakan sanksi hukuman penjara dan didenda sebesar Rp 1 miliar. Cukup berisiko bagi pihak yang tidak bertanggung jawab meng-up load menggunakan media e-Paper yang on line, Facebook, MySpace, Bolgger, YouTube, Friendster dan sebagainya di jalur media dunia maya. Artinya, bakal terkena pasal delik pidana pencemaran atau penghinaan yang konsekuensinya dapat dikategorikan dalam delik pidana aduan melalui media on-line nya yaitu UU ITE atau disebut cybercrime.Salah satu kejadian yang faktual akhir tahun lalu, sebagai korban dari penerapan pasal cybercrime (UU No.11/2008) tentang ITE-Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu tersangka Eric Jazier, broker di PT Bahana Securities dan sekaligus pelaku penyebar rumor atau berita bohong melalui e-mail (surat elektroniknya) ke beberapa kliennya telah ditangkap pihak berwajib mengenai adanya isu lima bank swasta tengah mengalami krisis yang kesulitan likuiditas dan kegagalan dalam penyelesaian transaksi antar bank, setelah isu terjadi kalah kliring atas Bank Century tersebut (Kompas, 17/XI/08 ). Pelanggaran tersebut sesuai dengan pasal 27 ayat 3, dan 28 ayat 1, tentang penyebaran berita bohong kepada khalayak yang dapat merugikan pihak lain melalui tindakan cybercrime tersebut dengan ancaman 6 tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar. Termasuk kasus keluhan atas pelayanan RS yang muncul di miling list milik Prita Mulyasari yang dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, Tangerang, yang kasus pencemaran tersebut kini sedang diproses ke tingkat pengadilan tinggi Tangerang atau kemungkinan akan berujung damai bagi kedua belah pihak yang tengah bertikai?. Kita tunggu perkembangan tentang kasus heboh mailing-list tersebut di kemudian hari.

Penghinaan Terhadap Pejabat Negara
Termasuk, kasus pelanggaran penghinaan pers terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dapat dihukum, tetapi pelanggaran penghinaan, fitnah dan hingga mencemarkan nama baik sebagai ‘seseorang pribadi,’ tokoh, eksekutif swasta, artis/selebritis, dan hingga pejabat pemerintah maupun pihak-pihak lainnya perlu dilindungi hukum (general prevention), maka pihak yang melanggar akan terkena pasal sanksi hukuman penjara atau denda cukup berat. Menjadi pertanyaan melalui Perundang-undangan yang ada tersebut diatas, mampukan pihak aparat hukum untuk menjerat pihak-pihak sebagai pengikut dan pembuat/pemilik (prinsip dader atau midader) akun FB dilakukan di dalam maupun luar negeri yang bertajuk kampanye politik negatif tersebut harus secara tegas ditindak dan sebagai upaya preventif yang sesuai hukum komunikasi yang berlaku di Indonesia ?. Sifat hukum komunikasi tersebut bersifat delik aduan dan kepada siapa yang akan digugat (dipidanakan)?.Kita masih bisa bersyukur pihak MK yang cukup ‘aspiratif’, yaitu sebelumnya telah menghapus atau mencabut pasal-pasal penyebar kebencian (hatzaai artikelen), yaitu pasal 154 dan 155 di dalam KUH Pidana, karena dianggap sangat bertentangan dengan UUD 1945, tetapi pihak pemerintah masih tetap membutuhkan aturan hukum mengenai pencegahan penghinaan umum (general prevention) terhadap kehormatan institusi dan simbol-simbol kenegaraan. Paling tidak rumusan UU atau peraturan tersebut tengah dicari dan terperinci agar penggunaannya berdasarkan delik material yang tidak menimbulkan multitafsir secara sembarangan oleh aparat penegak hukum dengan berbagai alasan untuk menjerat pihak yang berseberangan pendapat dengan pejabat pemerintah, misalnya melalui rancangan UU Keamanan Negara, UU Intelijen dan UU Keterbukaan Informasi lain sebagainya.

Aspek Hukum Komunikasi Negara Barat
Ada beberapa pemerintah, yaitu seperti Republik Iran, Malaysia dan RR-China melakukan 'kebijakan penyensoran' atau melakukan ‘pemblokiran secara total’ akun media jejaring sosial dari milik oposisi agar tidak dapat atau mudah untuk diakses oleh pihak para pendukungnya.
Sebaliknya, secara yuridis di negara-negara maju AS dan Uni Eropa yang bercirikan negara dengan menganut sistem free press (pers bebas) sebagai upaya menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi, seperti di Amerika Serikat hingga kini media-pers menganut mahzab social responsibility, bahkan masih tetap mempertahankan demi perlindungan umum melalui pasal-pasal pelanggaran terhadap tindakan pidana (delik pers) atas perbuatan yang tidak menyenangkan, melalukan penghinaan, pelecehan dan hingga pencemaran nama baik seseorang, dan simbol-simbol tertentu. Yaitu melalui aspek-aspek hukum komunikasi massa (The law of Mass Communication) yang dianut ole hukum Anglo Saxon System, yang terkait dengan delik pidana pers, dan sama halnya dengan Indonesia yang menganut hukum Continental Eropa, yaitu pada dasarnya berbentuk: per-1). Libel (written defamation), atau dikenal dengan “slip of the pens”, yaitu menyangkut kasus terkait dengan pelanggaran perbuatan penghinaan (insult), fitnah, pelecehan, kebohongan, penyesatan melalui publikasi, pemberitaan dan hingga informasi bersifat negatif, termasuk penyebarluasan pornografi dalam bentuk tulisan atau melalui pemberitaan negatif di media massa cetak (druk pers misdriven) melalui media massa dan internet. Sedangkan yang ke- 2). Slander (oral defamation), atau disebut dengan “slip of the tongue”, yaitu suatu kasus perbuatan pelanggaran pidana berbentuk fitnah, pelecehan, penghinaan, mencaci maki, melakukan kebohongan, penyesatan, mengeluarkan pernyataan, ucapan, pidato, ceramah dan diskusi menyerang pihak lainnya dihadapan muka umum atau didengar oleh orang banyak melalui media tatap muka atau media lisan.Khususnya, sanksi hukuman atas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui konsep libel (written defamation) yang merupakan ‘delik aduan’ melalui media tulisan atau tercetak, menurut Thayer, Frank dalam bukunya, Legal Control of The Press (1956), yaitu terbagi tiga kategori umum bentuk libel or written defamation tersebut, antara lain sebagai berikut:
pertama Civil Libel, yaitu penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap seseorang bersifat perdata, melalui media tercetak/tertulis, atau media tatap muka, misalnya menggunakan simbol-simbol, tanda-tanda tertentu, kartun, gambar atau media reprentasi lainnya yang dapat melukai hak-hak privatisasi, dan hingga melecehkan reputasi atau nama baik seseorang atau kelompok lainnya.
kedua Trade Libel, penghinaan, pelecehan atau pencemaran terhadap hak milik seseorang atau dapat menimbulkan kerugian bagi organisasi atau usaha lainnya, termasuk pemalsuan terhadap merek dagang, logo perusahaan atau nama produk tertentu demi keuntungan sepihak tanpa bertanggung jawab, kemudian tertakhir, yaitu
Ketiga Criminal Libel, merupakan penghinaan bersifat delik pidana atau kriminal, seperti melakukan hasutan, pencabulan (pornografi), menyebarkan kabar bohong dan hingga pelecehan terhadap nilai-nilai kesucian keagamaan (blasphemy atau goldstering) atau penistaan terhadap nilai-nilai suku/etnik, dan menghina moral adat istiadat tertentu yang dapat mengganggu ketertiban umum.
------- ***** -------

Strategi Pengembangan Bank Syariah Mendatang

Minggu, 02 Agustus 2009

Strategi Pengembangan Perbankan Syariah Masa Depan

Oleh, Rosady Ruslan

Latar Belakang
Terdapat dua pendapat yang saling berbeda dalam masyarakat mengenai eksistensi dan prospek perbankan nasional, khususnya perbankan syariah di masa yang datang. Pihak pertama, mengatakan tidak bertentangan dengan syariat (ajaran) Islam, dan kedua, mengatakan haram hukumnya, karena pemberian bunga bank adalah sama dengan riba nasi’ah. Hal ini terlihat, dari hasil jajak pendapat terhadap 479 responden yang dilaksanakan majalah Info Bank (edisi April 1990 : 8-10), yang menyimpulkan bahwa dua pertiga dari responden menyatakan tidak setuju mengenai bunga bank, yaitu tercatat 31,7 %, dan sedangkan yang setuju 34,3%, kurang setuju 25,9%, serta sangat tidak setuju 8,1%.
Analisis hasil latar belakang dari jajak pendapat tersebut hingga kini masih relevan dengan kontroversi (pertentangan) antara setuju dan tidak setuju mengenai bunga perbankan (banking interest) di kalangan umat Islam. Artinya, fakta menunjukkan masih banyak masyarakat mengharapkan hadirnya suatu model pengelolaan ‘bank syariah’ yang lebih dekat dengan strategi pengelolaan dan operasional perbankan yang mengacu nilai-nilai syariat Islam.
Kegiatan perbankan merupakan usaha yang dianggap moderen di kalangan masyarakat, tetapi kebutuhan jasa dan layanan perbankan terus meningkat sesuai dengan perkembangan dinamika kehidupan dan sosial ekonomi yang kompleks, baik pada lapisan bawah maupun lapisan atas, karena peranan layanan perbankan sebagai mitra usaha dan penunjang faktor finansial yang utama bagi para nasabahnya. Pada awal berdirinya bank syariah, khususnya organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadyah merupakan inisiator dan sekaligus motivator untuk membangun dan berdirinya bank nasional dengan model syariah (profit sharing) yang sesuai dengan ajaran agama Islam, dengan memperhitungkan potensi dukungan untuk menciptakan sistem perbankan syariah, yaitu pertama adalah alasan kondisi objektif masyarakat (umat) Islam adalah yang terbesar baik secara nasional, bahkan ukuran internasional. Alasan yang Ke-dua, sebagai upaya pelayanan perbankan yang sesuai dengan syariat Islam dan untuk mengantisipasi akan kebutuhan masayarakat mendatang yang memerlukan konsep bank syariah, baik dikelola oleh lembaga bank pemerintah maupun bank swasta nasional untuk mewujudkan cita-cita, etika bisnis dan peraturan perbankan sesuai dengan syariah Islam.

Cikal Bakal Bank Syariah
Cikal bakal dalam pembentukan bank syariah, berawal dari ide dan gagasan para ulama untuk mendirikan perbankan Islam, yaitu pada 18-20 Agustus 1990, melalui penyelenggaraan suatu Lokakarya bertemakan “Bunga Bank dan Perbankan Syariah” yang dihadiri sekitar 170 peserta, terdiri dari para ulama, bankier, dan cedekiawan muslim untuk sharing pendapat dalam berdiskusi pembentukan lembaga keuangan (konsep perbankan syariah) dengan alternatif bank tanpa bunga, dan kemudian dimantapkan melalui Musyawarah Nasional IV, Majelis Ulama Indonesia, pada tahun yang sama untuk mengamanahkan proses pendirian konsep Bank Syariat Islam, dan setahun kemudian berdiri perbankan Islam, bernama Bank Mualat Indonesia (BMI), dan lalu muncul Bank Syariah Mandiri (BSM), kemudian diikuti pendirian melalui konversi bank-bank umum dengan membuka kantor cabang bank syariah yang berdasarkan pada kekuatan struktur modal dimiliki, manajemen pelaksanaan operasional yang profesional, mengacu pada nilai-nilai dan landasan moral Islam, dengan memperhatikan tingkat kesehatan dan prinsip-prinsip kehati-hatian, dan terpercaya dalam bisnis perbankan.
Seperti dilakukan oleh Bank Mualat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, bahwa sumber dana secara tradisional diperoleh melalui modal dan simpanan (Al-wadi’ah) pihak ketiga, selain itu berasal dari ZIS (zakat, infak dan sadaqah) yang merupakan kewajiban pokok bagi umat Islam untuk dikelola atau disalurkan secara tepat dan benar yang bekerjasama dengan Bazis (Badan Amil - ZIS). Termasuk jasa layanan bank syariah dapat menawarkan bagi hasil (profit sharing) melalui fasilitas pembiayaan Mudharabah (kredit Qiradh) untuk keperluan investasi atau modal kerja, kredit pemilikan barang (Bithaman), pinjaman lunak bagi usaha kecil (Al-Qardhul Hasan) dan penyertaan modal usaha (Musyarakah) untuk pembiyaan suatu proyek usaha, dan modal ventura.
Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik dan landasan dasar syariat Islam dalam melaksanakan teknis atau operasional secara syariah yang prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka bank Islam berfungsi sebagai mudharib (pengelola dana), atau mitra usaha terhadap nasabahnya, baik dengan penabung sebagai shahibul maal (penyandang dana) maupun pihak pengusaha sebagai peminjam dana (mudharib). Antara bank dan nasabahnya diadakan akad mudharabah, yang berisikan perjanjian pembagian keuntungan (profit sharing) dan pertanggungan resiko kerugian antar masing-masing pihak yang terkait.

Kendala Operasional Konsep Bank Syariah
Terdapat perbedaan karaketeristik produk jasa perbankan konvensional dengan bank syariah yang lebih menekankan moral force, bagi hasil (profit sharing) secara dinamis, dan progresif, maka penempatan dana pihak ketiga tersebut yang dapat memberikan keuntungan finansial secara kompetitif serta ‘halal hukumnya,’ yaitu model syariah untuk menghindarkan pemberian bunga bank (riba) yang dilarang keras oleh syariat Islam, berdasarkan pedoman dari kitab suci Al-Quran dan Hadis Rasullah serta Ijma para ulama.
Sebagian besar masyarakat belum memanfaatkan sistem perbankan, konsep dan prinsip-prinsip syariah (bagi hasil) secara optimal, dan pengetahuan tentang dasar-dasar sistem ekonomi model Syariat Islam yang melarang mempraktikkan ‘riba’ atau akumulasi harta kekayaan yang berorientasi keuntungan yang sering dilaksanakan tidak adil (unfair business), sehingga para nasabah hanya dikuantifikasi melalui pematokan perolehan bunga bank diformat secara statis dan sepihak.
Sedangkan kendala lainnya, secara ekonomis, efektivitas dan efisiensi seperti adanya jaringan antara kantor–kantor pelayanan jasa bank syariah belum begitu luas untuk menjangkau masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah kantung-kantung terdapat banyaknya lembaga pendidikan pondok pesantren, majelis tak’lim/pengajian dan perguruan tinggi (universitas) Islam serta usaha kerakyatan berbasis pengelolaan secara syariah Islam.
Termasuk hal lainnya, aspek operasional dan personel sebagai faktor penunjang dalam aktivitas bank syariah masih kurang, sehingga menghambat perkembangan kerja sama antarbank syariah dan belum mantapnya penempatan dana antarbank untuk mengatasi masalah likuiditas perbankan syariah. Termasuk kurangnya segi kemampuan dari sumber daya manusia (SDM) yang memiliki ‘Syariah Banking functional and operational Skill,’ yakni sebagai tenaga profesional yang terdidik dan berpengalaman bidang jasa layanan perbankan dengan prinsip-prinsip dan implementasi konsep syariah.
Memperhatikan pada ‘level mikro’ pengembangan sumber daya manusia (SDM) akan ditentukan oleh kemampuan manajerial skill dan manajerial teknis, baik secara kuantitas maupun kualitas keterampilan dalam strategis pengelolaan bisnis perbankan secara baik (good corporate government) dalam sistem syariah perlu dipersiapkan dan direncanakan secara dini melalui pelatihan dan pendidikan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk menciptakan tenaga terampil dan professional dalam menghadapi tantangan dimasa yang akan datang, dan pada akhirnya diharapkan akan mampu berkompetisi, memberikan layanan nasabah, memasarkan produk jasa bank syariah secara lebih luas di masyarakat.
Menurut Antonio, M. Syafi’i dalam bukunya Bank Syariah, dari Teori ke Praktik (2001:225), yaitu ketentuan peraturan perbankan yang berlaku sekarang ini belum sepenuhnya mengakomodasi oprerasional konsep bank syariah, yaitu tentang berbagai kendala yang dihadapi dan sehingga belum memberikan gerak pertumbuhan (growth) yang optimal terhadap model perbankan syariah, yaitu adanya kendala-kendala, sebagai berikut:
  • Instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas perbankan syariah belum terwujud.
  • Belum terdapat suatu instrument moneter yang sesuai dengan prinsip-prinsip bagi hasil untuk keperluan operasional perbankan syariah.
  • Standarisasi akutansi, audit, dan pelapor belum dibakukan
  • Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dan kepercayaan pada sistem perbankan dengan model syariah (bagi hasil atau profit sharing).
Ketentuan tersebut diatas diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan bank syariah di masa mendatang pada era pasar bebas, terbuka dan bekompetisi secara sehat serta terpercaya, dengan komponen utama dalam sistem moneter yang dapat memberikan kemudahan untuk menjalankan, baik secara fungsi dan operasional, maupun perangkat peraturan perundang-undangan perbankan nasional yang baru untuk mendukung perkembangan perbankan syariah, serta mampu berkompetisi dengan bank-bank konvensional lainnya.

Strategi Penerapan TRAF
Pengelolaan dan operasional usaha bank syariah yang baik dan terpercaya melalui strategi dan penerapan prinsip-prinsip model “TRAF”, yaitu singkatan dari:
  • Transfarancy (kinerja dan kerterbukaan dalam manajemen dan operasional perbankan syariah), • Responsibility (pertanggungan jawaban dalam etika, peraturan hukum yang berlaku, serta pengelolaan dana, operasional teknis dan professional dalam layanan jasa perbankan),
  • Accountability (akuntabilitas, yaitu terciptanya sistem pengawasan dan prinsip-prinsip kehati-hatian yang efektif) dan,
  • Fairness (kejujuran, kepercayaan dan keadilan dalam pembagian hasil keuntungan, menjalankan usaha serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak para nasabah).
Kemudian, selain itu perlu didukung dengan strategi pengelolaan perusahaan baik melalui prinsip-prinsip Good Corporate Government tersebut, dengan mengacu pada Commitment (komitmen penuh, pihak manajemen dan pengelola untuk meningkatkan kinerja pelayananan, nilai usaha dan mampu mengurangi tingkat resiko perusahaan), Morality (moralitas, dari seluruh manajemen organisasi dan individu dalam perusahaan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai etika, moral, tanggung jawab dan kejujuran menurut pedoman Syariat Islam), dan Reliability (keterandalan, pihak manejemen, dan pihak pengelola tersebut memiliki kompetensi dan profesional yang yang handal serta terpercaya).

Strategi Pengembangan Bank Syariah Mendatang
Strategi pengembangan Bank Syariah secara resmi diperkenalkan sejak tahun 1992, yaitu seiring dengan diberlakukan UU No.7 tahun 1992 dan kemudian disempurnakan melalui UU No. 10 tahun 1998 tentang reformasi peraturan perbankan, yang diinterpretasikan untuk memberikan peluang seluas-luasnya membuka usaha perbankan yang beroperasi dengan prinsip-prinsip bagi hasil (bank syariah). Perkembangan perbankan syariah yang hingga kini menunjukkan pertumbuhan cukup signifikan walaupun populasinya tidak sebesar bank-bank umum konvensional lainnya.
Seperti contoh, strategi perkembangan model perbankan syariah pasca-reformasi atau mendatang, yaitu diperbolehkannya konversi cabang bank konvensional atau bank umum nasional yang kini telah banyak membuka kantor cabang Bank Syariah (catatan data per November 2000, menurut Antonio. 2001:27), adalah sebagai berikut:
• Bank IFI, membuka cabang Syariah, pada 28 Juni 1999
• Bank Susila Bakti
• Bank Niaga
• Bank BNI’46, telah membuka sedikitnya lima cabang Bank BNI Syariah
• Bank BTN
• Bank Mega, menkonversikan satu kantor cabangnya menjadi Bank Syariah
• Bank BRI
• Bank Bukopin
• BPD Jabar, membuka cabang Syariah di Bandung
• BPD Aceh Nanggroe Darussalam, telah menyiapkan peranti, perakatan, SDM dan pelaksanaan Bank Syariah secara menyeluruh sesuai dengan pelaksanaan Syariat Islam di daerah khusus otonomi yang diperluas.

Pertumbuhan perbankan syariah sejak tahun 1998 dan hingga 2002, yaitu rata-rata sebesar 57,6 persen terjadi pertumbuhan yang signifikan atau cukup tinggi diatas perkembangan bank umum nasional mencapai sekitar 12,3 persen. Sedikitnya, kini telah terdapat dua bank umum syariah, yaitu Bank Mualat Indonesia (BMI) dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Berdasarkan data laporan otoritas moneter atau BI (Bank Indonesia) menyebutkan bahwa jumlah perbankan syariah di Indonesia, yaitu dari 83 perusahaan perbankan yang terdiri dari bank umum, unit usaha dan BPR Syariah dan kini meningkat menjadi 91 perusahaan. Sedangkan jumlah kantor sekitar 203 buah yang tersebar di 29 kota, serta BPR Syariah terdapat 44 bank syariah di seluruh kota nusantara, dan nilai asetnya mencapai Rp 3,7 trilyun dan ditambah dengan dana pihak ketiga sebesar Rp 2,5 trilyun yang telah terhimpun.
Terdapat kemungkinan perkembangan bank syariah di masa mendatang cukup positif, dan terbukti telah mendapat sambutan baik dari masyarakat pada umumnya, serta nasabah khususnya. Hal ini terlihat adanya beberapa bank-bank umum, baik milik pemerintah maupun swasta nasional yang kini berlomba-lomba untuk membuka (konversi) kantor cabang-cabangnya menjadi bank syariah dan termasuk membuka unit jasa keuangan komersial lainnya seperti layanan jasa reksa dana, anjak piutang (factoring), dana syariah, pasar modal dan obligasi syariah yang pada akhirnya memberikan peluang perkembangan positif tentang pendanaan, baik bersifat sosial ekonomi dalam memperdayakan perekonomian berbasis kerakyatan di berbagai daerah dan masyarakat Islami, maupun berdasarkan pengelolaan dan operasional perbankan syariah yang mengacu pada etika moral, teknis pelaksanaan dan mekanisme dengan konsep syariat Islam (Al-Quran, Hadis Rasullah dan Ijma para ulama/cendekiawan muslim).

Strategi Pengembangan Bank Syariah Masa Depan
Strategi pengembangan konsep dan pengelolaan operasional bank syariah secara sehat dan terpercaya akan diharapkan dapat menciptakan sistem, peranan dan fungsi, serta sosialiasi perbankan syariah dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat muslim yang mulai menerima secara sepenuhnya sebagai lembaga intermediasi perbankan syariah yang optimal melalui pemahaman dan dukungan, yaitu sebagai berikut:
  1. Struktur perbankan syariah, yaitu dapat mengakomodasi penghimpunan dana dan pembiayaan secara harmonis, serta struktur bank syariah yang berkaitan dengan analisis resiko meliputi:• Struktur permodalan yang kuat, sehat dan terpercaya, serta tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu.
  • Struktur organisasi perusahaan, sumber daya dan pihak pengelola yang tangguh serta handal.
  • Struktur operasional melalui kebijaksanaan dan pelaksanaan bank dengan prinsip-prinsip kehati-hatian, serta pengelolaan praktik perbankan yang sehat dan baik (good corporate government), berlandaskan syariah Islami. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah terciptanya ‘hubungan kemitraan’ melalui hubungan harmonis antarinvestor (mutually investor relationship), dan hubungan debitur/kreditur yang harmonis (debtor and creditor relationship).
  1. Sistem pengawasan dan pembinaan secara efektif, untuk memwujudkan iklim usaha yang kondusif dan dapat melindungi kepentingan masyarakat pada umumnya, dan nasabah khususnya.
  2. Pengembangan jaringan bank syariah, menyediakan kemudahan akses layanan jasa bank syariah kepada masyarakat luas, mendukung pembentukan pasar uang antarbank, intermediasi pasar uang dan pasar modal, pembiyaan fasilitas kredit usaha, anjag piutang sebagainya sehingga akan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan bank syariah yang sehat serta dapat diterima dalam kehidupan perekonomian berbasiskan kerakyatan, khususnya umat muslim.
  3. Pengembangan jaringan piranti komputer, hal ini diharapkan akan mempermudah mengakses atau memanfaatkan layanan jasa bank syariah melalui piranti jaringan komputer (computer link) secara luas, efektif dan efisien.
  4. Penyempurnaan ketentuan dan peraturan, secara umum peraturan perundang-undangan perbankan sudah ada, yaitu UU No. 7/1992 dan No. 10/1998, yang belum mengakomodasi perkembangan bank syariah di tanah air secara optimal, dan perlu dibentuk undang-undang khusus perbankan dan melalui surat keputusan otoritas moneter yang lebih efektif untuk pengembangan konsep dan potensi bank syariah, baik secara operasional, fungsional, dan peran layanan jasa perbankan syariah di dalam kehidupan perekonomian masyarakat secara luas, maupun dalam menghadapi persaingan di era globalisasi pasar terbuka.
  5. Pelaksanaan sosialisasi, promosi dan publikasi perbankan syariah yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat, bahwa pengelolaan perbankan syariah tersebut berbeda dengan bank-bank konvensional (bank umum), yaitu lebih menekankan ‘keunggulan komparatif’ atau selling point dari konsep bank syariah melalui bagi hasil (profit sharing), ‘hubungan kemitraan’, dan tanpa pemberian bunga, serta penghasilan yang halal, baik ditinjau secara ‘ukhrawi maupun akhirati’ sesuai dengan syariah Islam.
  6. Prinsip bank-bank Islam, dikembangkan tersebut tidak terlepas dari konsep syariah Islam yang tidak memperbolehkan pemisahan antara hal yang temporal (nilai duniawi) dan unsur keagamaan dalam pengelolaan bank syariah. Konsekuensinya, konsep bagi hasil dan bagi resiko sesuai dengan kaidah agama, maka keuntungan adalah bagi yang menanggung resiko. Bank syariah akan menolak bunga sebagai biaya untuk penggunaan uang dan pinjaman sebagai alat investasi. Pihak bank syariah menerima dana dari pihak ke-tiga berdasarkan kontrak (mudharabah) dalam bentuk kesepakatan bersama antara penyedia dana (pemegang rekening investasi) dan pengelola dana (bank syariah), baik berkenaan dengan pembagian hasil maupun dalam hal menanggung terjadi resiko kerugian.
Promosi dan Sosialisasi Strategi Pengembangan Pemasaran Terpadu
Upaya promosi, pemasaran, publikasi dan sosialisasi mengenai strategi pengembangan bank syariah dapat dilakukan secara terpadu (integrated marketing communication), melalui kerja sama dengan lembaga atau asosiasi keorganisasian Islam, para ulama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islam (DDI), Dewan Pengawasan Syariah (DPS), Dewan Syariah Nasional (DSN), peranan perguruan tinggi formal Islam atau lembaga pendidikkan tradisional pondok pesantren, majelis-majelis tak’lim dan termasuk kampanye memanfaatkan publisitas yang berkerja sama dengan media massa (media elektronik dan media cetak) untuk perluasan informasi kepada masyarakat.
Sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat (public knowledge and awareness) terhadap praktik lembaga keuangan bank syariah secara umum, bahkan khususnya bagi kalangan pengusaha, perbankan umum yang lainnya belum mengetahui secara baik mengenai eksistensi bisnis perbankan syariah, dan termasuk memasyarakatkan kepada lembaga pendidikan atau organisasi keagamaan lainnya melalui 4 (empat) strategi pengembangan perbankan syariah masa mendatang, yaitu sebagai berikut:
  1. Penjelasannya, bahwa perbankan dengan konsep bank syariah pada dasarnya adalah penerapan tathbiq atau fiqih mu’amalah maaliyah. Fiqih yang mengkaji dan menjelaskan bahwa bagaimana sesama manusia berhubungan dengan bidang harta kekayaan, perekonomian, bisnis dan keuangan, khususnya kehadiran bank syariah yang kaitannya dengan kehidupan masyarakat, dan tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan.
  2. Mengembalikan masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha berdasarkan syariah Islam, bahwa selama ini adanya liberalisasi perbankan yang berorientasi komersialiasi dan pemberian bunga bank adalah bertentangan dengan ajaran (syariat) Islam.
  3. Meluruskan fitrah bisnis melalui ungkapan berlandaskan falsafah Machiaveli, bahwa ‘cari duit secara harampun susah, apalagi secara halal akan lebih sulit lagi.’ Tidak demikian dalam menjalankan sistem bank syariah yang berpatokan pada ajaran keagamaan berdasarkan Al-Quran, Hadis dan Ijma.
  4. Membantu memperbaiki perekonomian yang dilanda krisis multidimensional melalui kehadiran bank syariah. Berbeda dengan bank ribawi (konvensional), bahwa pelaksnaan bank syariah tidak mengenal spread, yakni memperoleh keuntungan tersebut melalui model bagi hasil (syariah) yang terpercaya dan halal antara bank dan nasabahnya. Artinya menginformasikan kepada masyarakat, terdapat keungulan tertentu pada produk muamalah maaliyah yang dikelola oleh bank syariah.
Faktor peraturan perundang-undangan perbankan berdasarkan konsep syariah telah terbentuk, maka mampu mengkomodasi kebutuhan dan perkembangan bank syariah yang khas akan sejajar dengan bank-bank umum, serta ditunjang dengan kualitas maupun kuantitas kemampuan pihak pengelola (SDM) yang profesional dalam memberikan layanan jasa. Sosialisasi atau memasyarakatkan konsep bank syariah di masa depan bukan merupakan tuntutan politik, tetapi lebih mengakomodasi akan kebutuhan utama menciptakan suatu lembaga perbankan yang formal, memiliki legalitas dan dapat diterima berdasarkan aspirasi sosial budaya dengan menerapkan perekonomian masyarakat Indonesia yang bernuansa Islami. Harta kekayaan sebagai ujian keimanan, berkaitan dengan soal mendapatkan, mengelola dan memanfaatkannya harta tersebut, apakah sudah sesuai dengan syariah Islam atau tidak ? (Al-Anfaal :28).
---------------------------- ***** ------------------------------

Sekian dan terima kasih
Jakarta, 04 Agustus 2009
Wasalam,


( Rosady Ruslan, SH, MM )
Penulis Mantan Praktisi PR-Perbankan dan Dosen PR di Universitas Mercu Buana, Universitas Al-Azhar Indonesia dan STIKOM InterStudi, Jakarta



Daftar Perpustakaan
1. Antonio, Muhammad Syafi’I. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik Penerbit Gema Insani, Jakarta.
2. Majalah Info Bank. Edisi April 1990. No. 124. Pencetak PT Delapratasa, Jakarta
3. Bank Indonesia. 1999. Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah. Bank Indonesia, Jakarta.
4. Suara Pembaruan Minggu, Edisi Tanggal 07 April 2003. Jakarta.

5.
6.

Penolakan MK terhadap Uji Material UU-CSR

Jumat, 24 April 2009

Penolakan MK terhadap Judicial Review Pasal 74
UU Program CSR Berdampak Positif


Pada akhirnya pihak MK (Majelis Konstitusi) tetap menolak Uji Material (Judical Review) mengenai penghapusan pasal 74, ayat 1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program CSR bagi perusahaan, khususnya bergerak dibidang sumber daya alam, dan sebelumnya uji material tersebut diajukan melalui Wakil Ketua Umum Kadin, Haryadi B. Sukamdani. (Koran Tempo, 16/04/2009). Penolakan MK yang beralasan bahwa program CSR tidak bertentangan dengan Pasal 33, UUD '45 dan "Majelis melindungi hak konstitusional warga yang berada dilingkungan perusahaan dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk membagi kekayaannya demi kemakmuran rakyat," ujar Ketua MK, M. Mahfud MD di Jakarta.
Pengajuan penolakan atas kewajiban sesuai UU-CSR (Corporate Social Responsibility) menurut Haryadi, “Bahwa wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya telah tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya alokasi dana diperuntukan demi kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat atau tanggung jawab sosial yang seharusnya dikelola oleh pihak pemerintah.” Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) termasuk yang tidak setuju atau secara terbuka menentang adanya kewajiban CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74 tersebut, yaitu alasannya disatu sisi CSR merupakan tanggung jawab sukarela (voluntaris), tetapi disisi lainnya bersifat mandatoris atau memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media Indonesia, 04/02/2009), maka Kadin, termasuk didukung oleh organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan permohonan uji material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi), mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib dilakukan korporat tersebut harus dicabut, tegas Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.
Pengaturan program CSR tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi tidak efisien serta tidak adil, artinya pasal 74 tersebut merupakan materi hukum materiil yang mengatur kewajiban perseroan dan dapat memberikan sanksi hukum bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal yang memberatkan inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan baru tersebut. Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Dengan membayar uang pajak yang dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan mengenai hal pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi kewajiban pihak pemerintah, bukan digeser ke setiap perusahaan. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin, tidak ada satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan kewajiban pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi dalam sidang Pleno pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung MK, Jakarta (03/02/09).
Bunyi lengkap dari Pasal 74, (UU PT No. 40/2007), yang disahkan medio Juli 2007, yaitu Berkaitan dengan kewajiban melaksanakan tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility) sebagai berikut:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaiitan dengan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya peseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Kategori Perusahaan Melaksanakan Program CSR
Suatu pihak perusahaan yang memiliki manajemen dengan meletakan pertimbangan perlindungan, pembangunan lingkungan dan kesehatan bagi stakeholder-nya, dalam setiap pengambil keputusan bisnisnya dilain pihak tidak terlepas dari sebagai wujud nyata tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan konstribusi positif tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu terdapat beberapa kategori dan beberapa peringkat perusahaan dalam melaksanakan program CSR, sesuai UU, sebagai berikut:
1. Perusahaan Peringkat Emas
Tahap ini, perusahaan telah menempatkan program CSR sebagai strategi utama dalam kegiatan bisnisnya, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan secara penuh (score 90%) dalam bentuk kepentingan kepedulian social investment dan menunjang sustainable development.
2. Perusahaan Peringkat Hijau
Tahap ini, perusahaan telah menempatkan program CSR sebagai strategi utama dalam kegiatan bisnisnya, dan CSR (score 76-89%) tidak lagi dianggap keharusan, tetapi merupakan kebutuhan dalam bentuk social investment (modal sosial).
3. Perusahaan Peringkat Biru
Pada perusahaan tahap ini, menilai praktik program CSR akan memberikan dampak positif terhadap bisnisnya (score 51-75%), karena merupakan investasi dan bukan sebagai biaya.
4. Perusahaan Peringkat Merah
Perusahaan peringkat merah ini menilai bahwa penerapan program CSR (score 21-50%) masih dianggap sebagai komponen biaya yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan.
5. Perusahaan Peringkat Hitam
Sebaliknya, perusahaan peringkat hitam ini yang sangat tidak peduli terhadap aspek lingkungan alam dan kehidupan sosial sekitarnya (score 0-20%), kegiatan usahanya bersifat degeneratif dan lebih mengutamakan demi kepentingan bisnisnya.

Penolakan Perusahaan terhadap UU-CSR
Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan), dengan konsep pemikiran yang mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat (mandatory atau obligatory responsibility).
Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan keajibannya (mandatory). Sebaliknya, pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contradictio in-terminis atau merupakan pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah menempatkan dua kubu pengusaha, yaitu kubu pertama dengan pendekatan voluntary di posisi terdepan, maka argumen dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan dikembangkan berbagai standar program pelaksanaan CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap perusahaan tanpa adanya paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah atau Peraturan Perundang-undangan yang harus mengikat. Sedangkan kubu lainnya, pihak pengusaha pendukung CSR pendekatan mandatory (kewajiban yang mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentuk corporate accountability movement (CAM). Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi – baik secara lokal, nasional maupun internasional – harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas CSR minimum sesuai yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berdampak positif bagi masyarakat sekitarnya.
Disamping itu, masih terjadi wacana, kubu penolakan keras dari perusahaan atau kalangan pelaku bisnis beraliran ‘kapitalisme’ yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu. Apakah dari prosentase nilai profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut. Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul “The Future of Capitalism” (1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social ‘must’ in capitalism. Artinya, tidak ada namanya aspek tanggung jawab sosial perusahaan dalam pandangan perusahaan beraliran kapitalisme. Bahkan pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004), yang salah satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan amoral, dan “Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera.” Alasannya, bahwa perusahaan tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham, yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo “The business of business is business” yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa, there is one and only one social responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan ‘amanah’ yang hanya dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut berbagai macam bentuk pajak atau pungutan kewajiban lainnya bagi setiap perusahaan. Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik berbentuk kapitalisme maupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT No. 40/2007, tentang PT (Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional pemberlakuannya tahun 2008, tetapi PP (Peraturan Pemerintah) hingga kini belum terbit, dan akan dikenakan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Seharusnya, jika mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini menjadi ‘musuh publik’ atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman dalam bukunya; Business Ethic, Reading and Cases in Corporate Moralities (1990), yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah dibayar mahal secara periodik.
Dampak buruk dari demi komersialisasi atau ‘keserakahan’ dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis yang tidak memiliki tanggung jawab sosial perusahaan tersebut telah banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini jangan lupa kesadaran sosial-masyakat tersebut akan berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab dan moral bisnis yang beretika. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan-perusahaan yang bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan sosial yang telah menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan produknya disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya yang memmbuat ketidak-nyaman, pencemaran, polusi udara, dan dampaknya dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha sebagai akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak bersahabat.


------------- ***** ------------

Jakarta, 22 April 2009





CSR Seri 3 & 4

Selasa, 06 Januari 2009



(Kayon: Peduli Alam lingkungan Hidup, Flora dan Fauna)

CSR

(Corparate Social Responsibility)

Oleh Rosady Ruslan

A.Komitmen Perusahaan Melaksanakan Program CSR
Perusahaan swasta nasional yang kini telah banyak memiliki komitmen penuh (awareness) untuk melasanakan program CSR secara aplikatif yaitu, misalnya apa yang telah dilaksanakan oleh PT Unilever, melalui CSR Lifebouy yang peduli pendidikan kesehatan masyarakat (Public Health Education-PHE), dengan kampanye ‘mencuci tangan’ dan bertujuan kampanye produk sabun mandi bermerek, Lifebouy berbagi sehat. Termasuk konsep pengembangan CSR terhadap perusahaan swasta nasional lainnya, pihak HM Sampoerna yang ingin membangun perusahaan sebagai ‘good corporate citizen’ (kewargaan perusahaan yang baik) melalui kegiatan peduli tanggung jawab sosialnya dengan program, seperti; Sampoerna Faundation, Sampoerna Entrepreneur Training Center, dan hingga program lainnya seperti, Bimbingan Anak Sampoerna dan Perpustakaan adalah berupaya untuk menciptakan suatu komitmen perusahaan yang berorientasi menjadi Good Corporate Citizen and Commitment to Nation Building.
Tidak ketinggalan perusahaan strategis BUMN, seperti program CSR yang dilaksanakan sejak tahun 2000, melalui Community Development Centre PT Telkom, telah melakukan program bertemakan aktivitas kemitraan, internet goes to school & smart campus, dan pelatihan generasi guru. Khususnya, program kemitraan bina usaha kecil menengah kebawah, PT Telekom telah memberikan bantuan modal usaha kecil dengan bunga pinjaman rendah (3-5% pertahun) kepada para pengusaha sebagai mitra binaan usaha yang tercatat tahun 2007 telah mencapai 6031 pengusaha golongan lemah, dan sumber dana kemitraan tersebut awalnya diambil dari 2-3% nilai profit usaha atau kini berkembang menjadi sekitar Rp


Penjelasan Program CSR - PT Telekom, yaitu:
  1. Kemitraan Usaha - pemberdayaan ekonomi lingkungan - bagi pengusaha kecil yang tidak memiliki akses kepelayanan jasa perbankan - untuk seluruh nusantara - dengan skala dana dan jangkauan (2007) untuk sekitar 6031 pengusaha kecil.

  2. Internet Goes to School & Smart Campus - memperkenalkan akses internet untuk pendidikan - murid sekolah, guru dan mahasiswa - di berbagai sekolah dan kampus di Jakarat, Bandung, Semarang dan Yogjakarta.

  3. Pelatihan Generasi Baru-Guru - memperkecil kesenjangan TI (Teknologi Informasi)- bagi guru-2 SLTP, dan SMA agar melek TI - Disekitar Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. (Sumber diolah dari majalah Mix Marketing Xtra -Edisi IV, 20 September-Oktober 2007)

B. KAMPANYE KONVERSI Pemakaian Energy.
Begitu juga pihak PT Pertamina yang tidak ketinggalan berpartisipasi melaksanakan Program CSR melalui kampanye konversi pemakaian energy bahan bakar minyak tanah (BBM) yang selama ini dipergunakan oleh rumah tangga dan pemilik warung makanan, yaitu mulai menggunakan bahan bakar gas elpiji (BBG) dan hingga target sekitar 100 juta tabung gas pada tahun 2010, dengan membagi-bagikan kompor dan tabung gas gratis berjumlah sekitar 25 juta tabung gas (hingga tahun 2008) ke masyarakat-konsumen rumah tangga dan pemilik usaha kecil ke berbagai daerah pinggiran. Namun sayang, kampanye tersebut justru menimbulkan opini publik yang negatif, karena terlambat tidak diikuti dengan ‘sosialisasi’ cara-cara penggunaan kompor dan tabung gas tersebut yang berjalan secara tidak efektif sehingga masyarakat sebagai pengguna kompor BBG masih takut atau tidak tahu teknis cara penggunaan, dan disamping itu kebijaksanaan pihak Pertamina secara sepihak langsung mengurangi jatah distribusi bahan bakar minyak tanah (bersubsidi) ke berbagai daerah yang dianggap telah menerima program kampanye kompor BBG tersebut, dan dampaknya adalah hingga kini menimbulkan masalah ‘keriuhan’ yang terekspos oleh berbagai media massa yaitu pemandangan bagai mana perjuangan ibu-ibu rumah tangga dan pemilik warung makanan harus antre dimana-mana berebut untuk berebut memperoleh catah minyak tanah bersubsidi tersebut yang masih ‘dibutuhkan’ masyarakat kecil.
Hal ini, terlihat seolah-olah tidak adanya koordinasi komunikasi yang efektif antara pemerintah, Pertamina dan pelaksana kampanye konversi bagi-bagi kompor dan tabung gas di lapangan, yang seharusnya merupakan program bertujuan sangat mulya dan demi bermanfaat bersama, dan penghematan subsidi atau penggunaan energy BBM, tetapi justru menimbulkan ‘masalah baru’ yang muncul. Padahal program CSR untuk Kampanye Kompor BBG Pertamina 2007-2010 yang bagi-bagi kompor dan tabung gas gratis tersebut menggunakan dana cukup besar jumlahnya.
Terkait dengan pembahasan pelaksanaan program CSR tersebut diatas dan sesuai dengan tekanan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro, Brazilia pada tahun 1992, yang telah disepakati sedikitnya 179 negara dan menegaskan bahwa konsep perubahan suatu paradigma pembangunan yang selama ini bertumpu dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang perlu mendapat perhatian baik oleh negara maupun kalangan korporasi. Yaitu sasarannya, pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan taraf hidup manusia (human sustainable) dapat diartikan adanya pemeliharaan mengenai modal manusia (human capital) sehingga kemiskinan dapat dikurangi, termasuk peningkatan pembangunan berkelanjutan di sektor sosial dan lingkungan kehidupan (environment sustainable) dan ekonomi (economic sustainable).
Selanjutnya, dikembangkan lagi mengenai program CSR pada pertemuan perusahaan-perusahaan internasional pada ISO-Copolco (ISO-Committee on Consumer Policy), melalui Workshop secara global pada 10 Juni 2002, di Port of Spain yang diikuti oleh 170 partisipan dari berbagai negara untuk membahas tentang Corporate Social Responsibility Concept and Solution, yang menyatakan bahwa merupakan suatu kewajiban tanggung jawab sosial bagi setiap perusahaan untuk mensejahterakan komuniti lokal di sekitar keberadaan perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perkembangan ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat di negara-negaranya masing-masing.

C. KONSEP ‘6-Program Inisiatif’ PELAKSANAAN CSR

Sedangkan Definisi CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) lainnya, dikemukakan oleh Kotler, Philip and Lee, Nancy (2005 : 3) yang menjelaskan bahwa, corporate social responsibility is commitment to improve community well-being through discretionary business practice and constribution of corporate resources. Arti umumnya, merupakan suatu komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan yang telah berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan komuniti melalui pertimbangan praktik bisnis yang etis dan konstribusinya yang besumber dari pihak perusahaan.
Selanjutnya hal lain yang diungkapkan oleh Kotler dan Lee (2005 : 22), paling tidak terdapat ‘enam program inisiatif CSR pilihan’ yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang mengkaitkan dengan brand value, misi dan sesuai karakter product brand, hingga berupaya menjadi good citizen brands yang dipromosikan atau melalui pemasaran sosial, dan sekaligus mampu meningkatkan citra perusahaan atau melalui konsep 6-program inisiatif pelaksanaan CSR, yaitu melalui:
a. Cause Promotion
Program perusahaan berinisiatif dan mengarahkan promosi melalui penggalangan dan konstribusi dana untuk mengembangkan kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap masalah-masalah isu sosial tertentu. Dapat terjadi pihak perusahaan melakukan sponsor kegiatan tertentu, misalnya membangun Public Health Education (PHE) atau upaya kampanye mendidik kesehatan masyarakat. Seperti program kampanye promosi iklan PT Unilever melalui CSR Lifebouy Handwashing dengan tagline-nya ‘Berbagi sehat’, untuk menghindari masyarakat dari penularan wabah penyakit diare (muntaber) melalui kampanye mencuci tangan setelah beraktivitas.
Hal lain yang sama dilakukan oleh Anita Roddick (64, meninggal dunia, September 2007 di Inggris), sebagai penggagas dan sekaligus pemilik produk kosmetika yang terkenal, yaitu The Body Shop yang diluncurkan sejak tahun 1976 di Inggris, kini memiliki 77 juta pelanggan di 55 negara, dengan berinisiatif melalui program kampanye ‘againts animal testing’ (anti menggunakan binatang sebagai kelinci percobaan atas suatu produk baru sebelum dipasarkan), kampanye tersebut sebagai wujud nilai kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan flora dan fauna.
b. Cause-Related Marketing
Bentuk komitmen perusahaan untuk menyisihkan dalam sejumlah pronsentase tertentu dari pendapatannya sebagai dana konstribusi dan donasi untuk tujuan kegiatan amal (charity activity) tertentu demi meningkatkan pemasaran atas produk bernilai khusus yang dipromosikan ke masyarakat sebagai konsumennya. Biasanya kampanye promosi pemasaran suatu produk tersebut sambil mendukung kegiatan amal (karitas) tertentu melalui hubungan kemitraan kerja sama yang baik dan saling bermanfaat (mutually beneficial relationship) dengan pihak lembaga (LSM) atau organisasi non profit dan relawan lainnya untuk tujuan kepedulian kesehatan sosial.
Contohnya, Campel Soup–AS, dengan mengubah warna kemasan kaleng dari merah dan putih menjadi warna ‘pink’ sebagai dukungan bulan kampanye breast cancer (kanker payu dara) yang berkerja sama dengan peneliti relawan dan tim medis rumah sakit di AS, yaitu dengan mendonasikan sedikitnya $250 ribu pertahun atau senilai 3,5 sen dolar perkaleng yang terjual. Terjadi perubahan signifikan pemasaran Campel Soup yang dikaitkan dengan kampanye peduli ‘breast cancer’ kaum hawa tersebut yang penjualannya meningkat dua kali lipat atau menjadi tujuh juta kaleng (Oktober 2006), dan sebelumnya hanya terjual 3,5 juta kaleng.
c. Corporate Social Marketing
Pihak perusahaan mendukung kampanye pengembangan atau pelaksanaan perubahan prilaku masyarakat secara positif untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan, keamanan dan harapan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan komuniti tertentu yang menjadi khalayak sasarannya agar menjadi lebih baik atau mampu meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Kegiatan kampanye promosi tersebut yang terfokus untuk mendukung kesadaran, sokongan pendanaan dan hingga bagaimana mampu merekrut relawan-relawan dalam aktivitas kampanye pemasaran sosial perusahaan. Misalnya, Philip Moris berkampanye untuk mendorong orang tua dan guru sekolah untuk menyadarkan anak-anaknya tentang bahaya penggunaan tembakau atau kebiasaan menghisap rokok terhadap aspek yang dapat mengancam bagi kesehatan putra/putrinya di masa depan.
d. Corporate Philanthropic
Kegiatan filantropi perusahaan yang berinisiatif melalui program pemberian konstribusi langsung terhadap kegiatan amal atau kepedulian sosial dalam bentuk donasi atau sejumlah sumbangan dana tunai tertentu sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. Pendekatan strategi perusahaan yang berinisiatif melaksanakan kegiatan filantropi tersebut merupakan bagian pencapaian dari maksud tujuan nilai tambah dan sasaran kepentingan bisnis yang dikaitkan dengan program kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, dan pada akhirnya akan meningkatkan citra dan reputasi perusahaan secara positif.
e. Community Volunteering
Relawan komuniti, yang artinya pihak perusahaan mendukung penuh atau mendorong para karyawannya, mitra usaha, dan para anggota franchisee untuk melakukan kegiatan relawan sosial terhadap dukungan kepedulian organisasi sosial komuniti lokal setempat. Misalnya, beberapa karyawan bidang teknologi komputer perusahaan ditugaskan untuk membantu memberikan pelatihan keterampilan komputer bagi guru-guru di berbagai sekolah SMA dan SMP setempat. Hal tersebut seperti pernah dilakukan oleh perusahaan PT Telekom dan Republika (2006) Peduli memberikan pelatihan keterampilan khusus program komputer (Teknologi Informasi - TI) bagi guru-guru baru SMA di Jakarta dan Bandung.
f. Socially Responsible Business Practice
Perusahaan berinisiatif melaksanakan praktik bisnis dengan mengkaitkan kegiatan tanggung jawab sosial secara langsung, yaitu mengadopsi dan pertimbangan prilaku praktik bisnis yang etis dan berinvestasi untuk bertujuan mendukung kegiatan sosial sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan komuniti, dan sekaligus mampu melindungi kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Misalnya, kedai kopi Starbucks bekerja sama dengan Conservation International untuk mendukung kepedulian para petani upaya menimalisasikan dampak negatif terhadap lingkungan alam sekitarnya, seperti tidak menggunakan bahan-bahan pupuk kimia yang berbahaya ketika menggarap tanaman dan ladang pertaniannya.
Selanjutnya menurut Kotler dan Lee (2005:258-259) bahwa terdapat suatu kesimpulan dari unsur-unsur kekuatan untuk memaksimalkan dan kosentrasi untuk menimalisasikan dari Konsep 6-program inisiatif pelaksanaan CSR, yaitu lihat tabelnya sebagai berikut:
6 - Program Inisiatif CSR (6-Kekuatan Untuk Memaksimalkan), yaitu sbb:
1. Cause Promotion
- Menciptakan reputasi perusahaan
- Menarik dan mempertahankan memotivasi tim kerja
- Mendukung pencapaian tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif sosial perusahaan terkini
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterlibatannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi & komitmen perusahaan
2. Cause-Related Marketing
- Mendukung tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif kegiatan sosial perusahaan kini
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterli- batannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi dan komitmen Perusahaan
3. Social marketing
- Membangun reputasi perusahaan
- Konstribusi terhadap tujuan umum dari bisnis perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Mendukung tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas.
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterlibatannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
4. Philanthropy
- Membangun reputasi perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Melacak sumber pengeluaran dan nilai lebih sulit dilakukan
5. Community Volunteering
- Membangun reputasi perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Melacak sumber pengeluaran dan nilai lebih sulit dilakukan
6. Socially Responsibility Business Practice
- Membangun reputasi perusahaan
-Konstribusi terhadap tujuan bisnis
- Memotong biaya operasi
- Memangkas kekeliruan terhadap regulasi.
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif kegiatan sosial perusahaan kini
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Upaya bantuan ahli dari eksternal diperlukan
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi & komimen Perusahaan

Melalui ide dan gagasan buku CSR dengan tema, Corporate Social Responsibility; Doing the most good for your company and your case (2005), yang dirilis (release) oleh pakar manajemen pemasaran kelas dunia, seperti Philip Kotler dan Nancy Lee (Presiden dari Social Marketing Service, Inc. USA) tersebut diatas dengan menampilkan kasus-kasus praktik bisnis secara etis dari kegiatan kedermawanan sosial suatu perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat (AS) yang telah mempraktikan enam program inisiatif tersebut diatas, dan studi kasusnya yang menjadi bahan kajian secara konfrehensif tentang penilaian program kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan secara efektif, seperti dilaksanakan oleh perusahaan yang sudah terkenal kinerja dan reputasinya, yaitu; Hew-Packard, Ben & Jerry’s, IBM. Johnson & Johnson, American Express dan Microsoft hingga produk kosmetika Inggris bermerek terkenal, The Body Shop.
Kemudian Kotler mengungkapkan bahwa ‘corporate social initiative’ yang dapat manggambarkan secara umum mengenai perusahaan telah menetapkan sebagai payung program CSR yang berkaitan dengan kegiatan berbentuk seperti; Corporate social initiatives are major activities undertaken by corporation to support social cause and to fullfil commitments to corporate social responsibility.

Artinya, inisiatif perusahaan yang sebagian besar aktivitasnya dapat dikelola oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan sosial dengan mengisinya melalui komitmen untuk melaksanakannya dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan, yang sekaligus sebagai upaya untuk mendongkrak penjualan, pemasaran dan meraih pangsa pasar, hingga mampu menciptakan brand positioning (bottom line business goal) dan upaya membangun citra serta reputasi positif perusahaan (good corporate image and reputation) secara efektif dan memiliki berdaya guna atau manfaat tinggi di mata masyarakat.

D. TANTANGAN PRO dan KONTRA PROGRAM CSR
Anggapan lainnya, bahwa kini makin banyak perusahaan sekarang telah berupaya memperhatikan pelaksanaan program kepentingan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam kegiatan kepedulian dan kedermawanan sosial terhadap masyarakat tersebut, tetapi secara praktik terdapat program kepedulian sosial perusahaan yang hanya bersifat secara fungsional atau instrumental. Artinya, pelaksanaan kepedulian terhadap tanggung jawab sosial perusahaan sekarang yang masih banyak berpandangan atau menganggap bahwa pelaksanaan CSR tersebut hanya bersifat sekadar sebagai aksesoris belaka dari suatu ‘kegiatan pemanis’ program public relations, dan tujuan lain yang sesungguhnya program CSR adalah sebagai sarana untuk memaksimalkan profit yang menjadi target utama dalam kegiatan bisnisnya, maka program CSR telah dicanangkan tersebut bukanlah merupakan program prioritas utama atau secara integral yang merupakan sebagai bagian prioritas utama dalam kegiatan bisnis inti suatu perusahaan.
Bahkan kini, ada juga pihak perusahaan-perusahaan tertentu secara tegas untuk berpartisipasi menolak melaksanakan program CSR, karena dianggap dapat mengurangi pendapatan keuntungan, karena akan menambah menjadi beban berat bagi perusahaan yang bersangkutan, dan apalagi harus diatur mengenai pelaksanaan kewajiban program CSR ke dalam peraturan per -UU-an.
1. Pengertian 3-P (Triple bottom line)
Sebetulnya untuk merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang menjadi bagian dari keberhasilan kegiatan bisnis utamanya adalah melalui triple bottom line, menurut John Elkington dalam buku Canibal with forks: The Triple Buttom Line in 21st Century Business (1997), yaitu dikembangkan melalui suatu konsep economical prosperty (nilai harta kekayaan ekonomi), environmental quality (kualitas lingkungan hidup) , and social justice (keadilan sosial). Perkembangan tiga konsep tersebut yang selanjutnya terkenal dengan istilah “Formula 3-P”, yaitu terdiri unsur-unsur; people (kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial-masyarakat) , profit (berupaya mencari atau mencapai keuntungan bagi perusahaan), dan planet safe (kemampuan perusahaan demi menjaga kelestarian alam/bumi).
Perpaduan dari pengertian ‘3-P’ yang merupakan prinsip dari konsep dasar corporate social responsibility (CSR), dan bagaimana pihak perusahaan yang akan melaksanakan program tanggung jawab sosial tersebut terdapat dua bentuk konsep, yaitu

Pertama: Melalui program philantrophy (filantropi) atau kedermawanan perusahaan, dan dengan memfasilitasi kegiatannya berbentuk program terencana baik dan dalam jangka panjang, seperti pelaksanaan program community development (pengembangan komuniti) serta terkait dengan kegiatan sosial lainnya community empowering (pemberdayaan komuniti) dan hingga community relationship (membangun hubungan komuniti yang baik).
Dalam arti yang lainnya secara luas adalah pihak perusahaan yang memiliki program filantropi yang terencana tersebut mengarah pada investasi sosial (corporate social investment-CSI) dan hingga mampu meningkatkan dan penguatan masyarakat atau pengembangan komuniti (community development) yang sekaligus sebagai program modal sosial (social capital) terhadap kepedulian pembangunan sosial masyarakat yang berkelanjutan.
Kedua: adalah program jangka pendek, yaitu disebut dengan charity (karitas) yang tidak selalu terencana baik dan hanya bersifat spontanitas, yaitu bentuk program bersifat charity (karitas), yaitu bersifat memberikan bantuan amal, berbentuk jangka pendek dan biasanya untuk kebutuhan mendesak untuk mengatasi kendala-kendala sosial yang bentuk program kepeduliannya sesaat (spontanitas), dan secara mendesak (immediate relief to some lack or need). Misalnya, program untuk membantu meringankan beban penderitaan para korban sebagai akibat dari bencana alam atau ingin membantu kehidupan golongan masyarakat yang sangat miskin.

2. Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR
Bertolak belakang dengan pandangan tersebut diatas, dan kemudian muncul pemikiran yang mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat (mandatory atau obligatory responsibility). Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan (mandatory). Sebaliknya, pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contadictio in-terminis atau merupakan pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah menempatkan kubu pengusaha dengan pendekatan voluntary di posisi terdepan, maka argumen dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan dikembangkan berbagai standar program CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap perusahaan tanpa paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah yang mengikat.
Sedangkan kubu pengusaha pendukung CSR yang bersifat mandatory (kewajiban yang mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentuk corporate accountability movement. Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi – baik secara lokal, nasional maupun internasional – harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas CSR minimum.
Disamping itu, masih terjadi wacana, penolakan keras dari kalangan pelaku bisnis beraliran ‘kapitalisme’ yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu dari nilai profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut.
Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul “The Future of Capitalism” (1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social ‘must’ in capitalim. Artinya, tidak ada namanya aspek sosial dalam pandangan kapitalisme. Bahkan pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004), yang salaTebalh satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan amoral, dan “Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera.” Alasannya, bahwa perusahaan tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham, yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo “The business of business is business” yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa, there is one and only one social responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan amanah yang hanya dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut pajak terhadap perusahaan-perusahaan.
Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik berbentuk kapitalisme maupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT baru (UU No. 40/2007, tentang Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional pemberlakuannya tahun depan (2008) setelah PP-nya keluar, dan akan dikenakan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA). Seharusnya, kalau mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini menjadi ‘musuh publik’ atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman (1990), dalam bukunya; Business Ethic, Reading and Cases in Corporate Moralities, yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah dibayar mahal secara periodik.
Bunyi Pasal 74, UU PT baru (UU PT No. 40/2007), yang disahkan medio Juli 2007, yaitu Berkaitan dengan kewajiban melaksanakan tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility) sebagai berikut bunyinya:

  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaiitan dengan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya peseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Maka dengan demikian wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya telah tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya alokasi dana diperuntukan demi kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat atau tanggung jawab sosial yang seharusnya dikelola oleh pihak pemerintah.Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) termasuk tidak setuju atau secara terbuka menentang keras adanya kewajiban CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74, yaitu alasannya disatu sisi CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi disisi lainnya bersifat Mandatoris atau memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media Indonesia, 04/02/2009), maka Kadin, termasuk Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan permohonan uji material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyangkut UU N0. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib dilakukan korporat tersebut harus dicabut, kata Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.

Menurut alasan Hariyadi, pengaturan program CSR tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi tidak efisien serta tidak adil, artinya pasal 74, UU No. 40/2007 tersebut merupakan materi hukum materiil yang mengatur kewajiban perseroan dan dapat memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal yang memberatkan inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan baru tersebut.

"Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah. “Dengan membayar uang pajak tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan hal pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah, bukan digeser ke setiap perusahaan,” tegas Haryadi. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin, tidak ada satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan kewajiban pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi dalam sidang Pleno pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung MK, Jakarta (03/02/09).

Namun pada akhir MK tetap menolak Uji Material (Judical Review) mengenai pasal 74, ayat 1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program CSR bagi perusahaan, khususnya bergerak dibidang sumber daya alam yang telah diajukan oleh Wakil Ketua Umum Kadin tersebut (Koran Tempo, 16 April 2009), karena program CSR tidak bertentangan dengan pasal 33, UUD '45 dan "Majelis melindungi hak konstitusional warga yang berada dilingkungan perusahaan dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk membagi kekayaannya untuk kemakmuran rakyat," ujar Mahfud MD di Jakarta.

Kemudian yang Kedua, dampak buruk dari demi komersialisasi atau keserakahan dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis tersebut telah banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini kesadaran sosial-masyakat tersebut berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab moral dan sosial. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan raksasa bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan sosial yang menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan produknya akan disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan pekerjanya terhadap lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman serta iklim bekerja kurang kondusif, dan dampaknya dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha.


Ketiga
, bentuk proses evolusi perusahaan dari tahapan kepemilikan pribadi yang berubah menjadi milik publik, artinya secara tidak langsung perusahaan tidak lagi sekedar institusi bisnis belaka, tetapi telah berubah menjadi institusi sosial, dan konsekuensinya perubahan perusahaan tersebut sebagai institusi sosial tidak lagi selalu berorientasi mencari keuntungan secara sepihak, dan secara berimbang bahwa perusahaan yang bersangkutan untuk dituntut harus mampu memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya sebagai kegiatan prioritas utama dalam rencana investasi perusahaan. Sesuai dengan konsep mainstream mengenai pelaksanaan CSR yang diajukan oleh World Bank Group yang menyatakan, bahwa pengertian CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan komitmen bisnis untuk dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan karyawan serta pewakilannya, keluarga karyawan, komuniti setempat dan hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara pihak perusahaan yang bermanfaat baik dari aspek bisnisnya maupun demi kepentingan sosial dan pembangunan perekonomian yang berkelanjutan (sustainability economic development).

4. Mitra Kerja Sama dan Pelaporan Kinerja Program CSR
Untuk menyukseskan pelaksanaan konsep CSR tersebut harus diperlukan koordinasi dan kerja sama melalui bentuk partnership (kemitraan) antara stakeholder yang erat dengan keterlibatan dari tiga unsur pelaku utama sebagai penggerak tanggung jawab sosial perusahaan (Jurnal, CSR-EBAR. FE-UI, 2006:18. Edisi III. September-Desember), yaitu terdiri dari unsur-unsur; civil society (masyarakat), government (pemerintah) dan pihak business-man (pelaku usaha). Dalam contoh kasus pelaksanaan pengawasan kewajiban program CSR tersebut dari pemerintah Inggris sebagai upaya untuk mendorong kegiatan tanggung jawab sosial bagi perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta, yaitu tahun 2004 melalui peraturan Operating and Financial Review (OFR) yang mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mempublikasikan mengenai pelaporan kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungannya (CSR Publicatian & Reporting), serta disamping itu pemerintah Inggris mendirikan ‘CSR Academy’ atau sebagai perguruan tinggi pertama CSR di Manchester, Inggris untuk mendorong kompetensi CSR melalui serangkaian program pelatihan dan pendidikan khusus mengenai kegiatan CSR baik secara praktikal maupun kepentingan kajian ilmiah (Akademik).
Pengungkapan kinerja CSR melalui pelaporan berkelanjutan kini menjadi penting dan terutama ketika membuat keputusan investasi jangka panjang, dengan melalui pelaporan kinerja CSR tersebut akan mencerminkan apakah perusahaan telah menjalankan akuntabilitas sosial dan lingkungan secara optimal atau tidak, yang sekaligus akan terungkap bahwa perusahaan bersangkutan apakah telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif, konsensus dan komitmen usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan per-undang-undangan berlaku. Disamping itu, pihak perusahaan harus bersikap terbuka dan jujur dalam penyampaian informasi akurat atau pelaporan mengenai program pelaksanaan tanggung jawab CSR kepada stakeholder-nya.
Biasanya, pelaporan kinerja CSR tersebut akan mengungkapkan profile ringkas tentang visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan hingga perencanaan strategi perusahaan bersangkutan yang terkait dengan kinerja dari tolok ukur atau parameter bidang ekonomi, lingkungan dan sosial. Perusahaan yang secara sukses dalam menjalankan program CSR adalah tercermin dengan memiliki tiga nilai-nilai dasar (core values) yang terdapat di dalam perusahaan yang bersangkutan, dengan indikator yaitu: (1) aspek ketangguhan ekonomi, (2) tanggung jawab lingkungan, dan (3) akuntabilitas sosial. Menurut Jurnal eBAR (Economic Business Accounting Review). Edisi III (2006 : 88-89), maka parameter bagi tolok ukur kinerja pelaksanaan CSR itu dapat disimak, jika kinerja keuangan suatu perusahaan akan nampak dalam laporan rugi-laba keuangan secara periodik, dan sedangkan kinerja program CSR dapat dilihat dari ‘laporan berkelanjutan’ (sustainability report). Secara praktik dapat menggunakan istilah lainnya, seperti laporan social report, environmental report, atau social and environtmental report, sesuai dengan prosedur laporan dari organisasi lembaga GRI (Global Reporting Initiative) yang merupakan lembaga independen yang berdiri sejak tahun 1977, yang berpusat di Belanda.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi secara resmi atau tidak memiliki standar lembaga GRI Guidelines secara nasional, tetapi dalam hal ini pihak IAI-KAM (Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Manajamen) telah berinisiatif untuk mengadopsi pedoman laporan GRI tersebut pada pertengahan 2005, dengan mendirikan lembaga independen semacam GRI Guidelines dengan nama NCSR (National Center fo Sustainable Reporting), dengan misinya berbunyi yaitu: Menyusun dan menyebarluaskan pedoman laporan berkelanjutan untuk organisasi atau perusahaan di Indonesia. Diharapkan selanjutnya, sebagai lembaga independen NCSR yang dapat diakui keberadaan dan kredibilitasnya baik oleh pihak regulator (pemerintah), serta institusi/lembaga swasta maupun masyarakat.
Seperti contoh kegiatan telah dilakukan oleh IAI-KAM (6-7 September 2007), yang memberikan motivasi untuk mendorong kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan dalam beberapa bentuk penghargaan, misalnya bertema; Thd
e Best Social and Environment Reporting Awards 2007, dan Best Website dalam Indonesia Sustainability Reporting Awrads 2007, serta Social Empowerment Awards 2007, terhadap kebeberapa perusahaan industri pengelolaan sumber daya alam dan perusahaan telekomunikasi lainnya, karena proses evaluasi terhadap kegiatan CSR perusahaan tersebut cukup panjang atau laporannya yang layak dinilai telah berprestasi terbaik mengenai keberpihakan atas laporan pertumbuhan atau pertanggungjawaban sosial perusahaan.

--------------------------------***** --------------------------------------