CSR Seri 3 & 4

Selasa, 06 Januari 2009



(Kayon: Peduli Alam lingkungan Hidup, Flora dan Fauna)

CSR

(Corparate Social Responsibility)

Oleh Rosady Ruslan

A.Komitmen Perusahaan Melaksanakan Program CSR
Perusahaan swasta nasional yang kini telah banyak memiliki komitmen penuh (awareness) untuk melasanakan program CSR secara aplikatif yaitu, misalnya apa yang telah dilaksanakan oleh PT Unilever, melalui CSR Lifebouy yang peduli pendidikan kesehatan masyarakat (Public Health Education-PHE), dengan kampanye ‘mencuci tangan’ dan bertujuan kampanye produk sabun mandi bermerek, Lifebouy berbagi sehat. Termasuk konsep pengembangan CSR terhadap perusahaan swasta nasional lainnya, pihak HM Sampoerna yang ingin membangun perusahaan sebagai ‘good corporate citizen’ (kewargaan perusahaan yang baik) melalui kegiatan peduli tanggung jawab sosialnya dengan program, seperti; Sampoerna Faundation, Sampoerna Entrepreneur Training Center, dan hingga program lainnya seperti, Bimbingan Anak Sampoerna dan Perpustakaan adalah berupaya untuk menciptakan suatu komitmen perusahaan yang berorientasi menjadi Good Corporate Citizen and Commitment to Nation Building.
Tidak ketinggalan perusahaan strategis BUMN, seperti program CSR yang dilaksanakan sejak tahun 2000, melalui Community Development Centre PT Telkom, telah melakukan program bertemakan aktivitas kemitraan, internet goes to school & smart campus, dan pelatihan generasi guru. Khususnya, program kemitraan bina usaha kecil menengah kebawah, PT Telekom telah memberikan bantuan modal usaha kecil dengan bunga pinjaman rendah (3-5% pertahun) kepada para pengusaha sebagai mitra binaan usaha yang tercatat tahun 2007 telah mencapai 6031 pengusaha golongan lemah, dan sumber dana kemitraan tersebut awalnya diambil dari 2-3% nilai profit usaha atau kini berkembang menjadi sekitar Rp


Penjelasan Program CSR - PT Telekom, yaitu:
  1. Kemitraan Usaha - pemberdayaan ekonomi lingkungan - bagi pengusaha kecil yang tidak memiliki akses kepelayanan jasa perbankan - untuk seluruh nusantara - dengan skala dana dan jangkauan (2007) untuk sekitar 6031 pengusaha kecil.

  2. Internet Goes to School & Smart Campus - memperkenalkan akses internet untuk pendidikan - murid sekolah, guru dan mahasiswa - di berbagai sekolah dan kampus di Jakarat, Bandung, Semarang dan Yogjakarta.

  3. Pelatihan Generasi Baru-Guru - memperkecil kesenjangan TI (Teknologi Informasi)- bagi guru-2 SLTP, dan SMA agar melek TI - Disekitar Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. (Sumber diolah dari majalah Mix Marketing Xtra -Edisi IV, 20 September-Oktober 2007)

B. KAMPANYE KONVERSI Pemakaian Energy.
Begitu juga pihak PT Pertamina yang tidak ketinggalan berpartisipasi melaksanakan Program CSR melalui kampanye konversi pemakaian energy bahan bakar minyak tanah (BBM) yang selama ini dipergunakan oleh rumah tangga dan pemilik warung makanan, yaitu mulai menggunakan bahan bakar gas elpiji (BBG) dan hingga target sekitar 100 juta tabung gas pada tahun 2010, dengan membagi-bagikan kompor dan tabung gas gratis berjumlah sekitar 25 juta tabung gas (hingga tahun 2008) ke masyarakat-konsumen rumah tangga dan pemilik usaha kecil ke berbagai daerah pinggiran. Namun sayang, kampanye tersebut justru menimbulkan opini publik yang negatif, karena terlambat tidak diikuti dengan ‘sosialisasi’ cara-cara penggunaan kompor dan tabung gas tersebut yang berjalan secara tidak efektif sehingga masyarakat sebagai pengguna kompor BBG masih takut atau tidak tahu teknis cara penggunaan, dan disamping itu kebijaksanaan pihak Pertamina secara sepihak langsung mengurangi jatah distribusi bahan bakar minyak tanah (bersubsidi) ke berbagai daerah yang dianggap telah menerima program kampanye kompor BBG tersebut, dan dampaknya adalah hingga kini menimbulkan masalah ‘keriuhan’ yang terekspos oleh berbagai media massa yaitu pemandangan bagai mana perjuangan ibu-ibu rumah tangga dan pemilik warung makanan harus antre dimana-mana berebut untuk berebut memperoleh catah minyak tanah bersubsidi tersebut yang masih ‘dibutuhkan’ masyarakat kecil.
Hal ini, terlihat seolah-olah tidak adanya koordinasi komunikasi yang efektif antara pemerintah, Pertamina dan pelaksana kampanye konversi bagi-bagi kompor dan tabung gas di lapangan, yang seharusnya merupakan program bertujuan sangat mulya dan demi bermanfaat bersama, dan penghematan subsidi atau penggunaan energy BBM, tetapi justru menimbulkan ‘masalah baru’ yang muncul. Padahal program CSR untuk Kampanye Kompor BBG Pertamina 2007-2010 yang bagi-bagi kompor dan tabung gas gratis tersebut menggunakan dana cukup besar jumlahnya.
Terkait dengan pembahasan pelaksanaan program CSR tersebut diatas dan sesuai dengan tekanan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro, Brazilia pada tahun 1992, yang telah disepakati sedikitnya 179 negara dan menegaskan bahwa konsep perubahan suatu paradigma pembangunan yang selama ini bertumpu dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang perlu mendapat perhatian baik oleh negara maupun kalangan korporasi. Yaitu sasarannya, pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan taraf hidup manusia (human sustainable) dapat diartikan adanya pemeliharaan mengenai modal manusia (human capital) sehingga kemiskinan dapat dikurangi, termasuk peningkatan pembangunan berkelanjutan di sektor sosial dan lingkungan kehidupan (environment sustainable) dan ekonomi (economic sustainable).
Selanjutnya, dikembangkan lagi mengenai program CSR pada pertemuan perusahaan-perusahaan internasional pada ISO-Copolco (ISO-Committee on Consumer Policy), melalui Workshop secara global pada 10 Juni 2002, di Port of Spain yang diikuti oleh 170 partisipan dari berbagai negara untuk membahas tentang Corporate Social Responsibility Concept and Solution, yang menyatakan bahwa merupakan suatu kewajiban tanggung jawab sosial bagi setiap perusahaan untuk mensejahterakan komuniti lokal di sekitar keberadaan perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perkembangan ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat di negara-negaranya masing-masing.

C. KONSEP ‘6-Program Inisiatif’ PELAKSANAAN CSR

Sedangkan Definisi CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) lainnya, dikemukakan oleh Kotler, Philip and Lee, Nancy (2005 : 3) yang menjelaskan bahwa, corporate social responsibility is commitment to improve community well-being through discretionary business practice and constribution of corporate resources. Arti umumnya, merupakan suatu komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan yang telah berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan komuniti melalui pertimbangan praktik bisnis yang etis dan konstribusinya yang besumber dari pihak perusahaan.
Selanjutnya hal lain yang diungkapkan oleh Kotler dan Lee (2005 : 22), paling tidak terdapat ‘enam program inisiatif CSR pilihan’ yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang mengkaitkan dengan brand value, misi dan sesuai karakter product brand, hingga berupaya menjadi good citizen brands yang dipromosikan atau melalui pemasaran sosial, dan sekaligus mampu meningkatkan citra perusahaan atau melalui konsep 6-program inisiatif pelaksanaan CSR, yaitu melalui:
a. Cause Promotion
Program perusahaan berinisiatif dan mengarahkan promosi melalui penggalangan dan konstribusi dana untuk mengembangkan kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap masalah-masalah isu sosial tertentu. Dapat terjadi pihak perusahaan melakukan sponsor kegiatan tertentu, misalnya membangun Public Health Education (PHE) atau upaya kampanye mendidik kesehatan masyarakat. Seperti program kampanye promosi iklan PT Unilever melalui CSR Lifebouy Handwashing dengan tagline-nya ‘Berbagi sehat’, untuk menghindari masyarakat dari penularan wabah penyakit diare (muntaber) melalui kampanye mencuci tangan setelah beraktivitas.
Hal lain yang sama dilakukan oleh Anita Roddick (64, meninggal dunia, September 2007 di Inggris), sebagai penggagas dan sekaligus pemilik produk kosmetika yang terkenal, yaitu The Body Shop yang diluncurkan sejak tahun 1976 di Inggris, kini memiliki 77 juta pelanggan di 55 negara, dengan berinisiatif melalui program kampanye ‘againts animal testing’ (anti menggunakan binatang sebagai kelinci percobaan atas suatu produk baru sebelum dipasarkan), kampanye tersebut sebagai wujud nilai kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan flora dan fauna.
b. Cause-Related Marketing
Bentuk komitmen perusahaan untuk menyisihkan dalam sejumlah pronsentase tertentu dari pendapatannya sebagai dana konstribusi dan donasi untuk tujuan kegiatan amal (charity activity) tertentu demi meningkatkan pemasaran atas produk bernilai khusus yang dipromosikan ke masyarakat sebagai konsumennya. Biasanya kampanye promosi pemasaran suatu produk tersebut sambil mendukung kegiatan amal (karitas) tertentu melalui hubungan kemitraan kerja sama yang baik dan saling bermanfaat (mutually beneficial relationship) dengan pihak lembaga (LSM) atau organisasi non profit dan relawan lainnya untuk tujuan kepedulian kesehatan sosial.
Contohnya, Campel Soup–AS, dengan mengubah warna kemasan kaleng dari merah dan putih menjadi warna ‘pink’ sebagai dukungan bulan kampanye breast cancer (kanker payu dara) yang berkerja sama dengan peneliti relawan dan tim medis rumah sakit di AS, yaitu dengan mendonasikan sedikitnya $250 ribu pertahun atau senilai 3,5 sen dolar perkaleng yang terjual. Terjadi perubahan signifikan pemasaran Campel Soup yang dikaitkan dengan kampanye peduli ‘breast cancer’ kaum hawa tersebut yang penjualannya meningkat dua kali lipat atau menjadi tujuh juta kaleng (Oktober 2006), dan sebelumnya hanya terjual 3,5 juta kaleng.
c. Corporate Social Marketing
Pihak perusahaan mendukung kampanye pengembangan atau pelaksanaan perubahan prilaku masyarakat secara positif untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan, keamanan dan harapan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan komuniti tertentu yang menjadi khalayak sasarannya agar menjadi lebih baik atau mampu meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Kegiatan kampanye promosi tersebut yang terfokus untuk mendukung kesadaran, sokongan pendanaan dan hingga bagaimana mampu merekrut relawan-relawan dalam aktivitas kampanye pemasaran sosial perusahaan. Misalnya, Philip Moris berkampanye untuk mendorong orang tua dan guru sekolah untuk menyadarkan anak-anaknya tentang bahaya penggunaan tembakau atau kebiasaan menghisap rokok terhadap aspek yang dapat mengancam bagi kesehatan putra/putrinya di masa depan.
d. Corporate Philanthropic
Kegiatan filantropi perusahaan yang berinisiatif melalui program pemberian konstribusi langsung terhadap kegiatan amal atau kepedulian sosial dalam bentuk donasi atau sejumlah sumbangan dana tunai tertentu sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. Pendekatan strategi perusahaan yang berinisiatif melaksanakan kegiatan filantropi tersebut merupakan bagian pencapaian dari maksud tujuan nilai tambah dan sasaran kepentingan bisnis yang dikaitkan dengan program kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, dan pada akhirnya akan meningkatkan citra dan reputasi perusahaan secara positif.
e. Community Volunteering
Relawan komuniti, yang artinya pihak perusahaan mendukung penuh atau mendorong para karyawannya, mitra usaha, dan para anggota franchisee untuk melakukan kegiatan relawan sosial terhadap dukungan kepedulian organisasi sosial komuniti lokal setempat. Misalnya, beberapa karyawan bidang teknologi komputer perusahaan ditugaskan untuk membantu memberikan pelatihan keterampilan komputer bagi guru-guru di berbagai sekolah SMA dan SMP setempat. Hal tersebut seperti pernah dilakukan oleh perusahaan PT Telekom dan Republika (2006) Peduli memberikan pelatihan keterampilan khusus program komputer (Teknologi Informasi - TI) bagi guru-guru baru SMA di Jakarta dan Bandung.
f. Socially Responsible Business Practice
Perusahaan berinisiatif melaksanakan praktik bisnis dengan mengkaitkan kegiatan tanggung jawab sosial secara langsung, yaitu mengadopsi dan pertimbangan prilaku praktik bisnis yang etis dan berinvestasi untuk bertujuan mendukung kegiatan sosial sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan komuniti, dan sekaligus mampu melindungi kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Misalnya, kedai kopi Starbucks bekerja sama dengan Conservation International untuk mendukung kepedulian para petani upaya menimalisasikan dampak negatif terhadap lingkungan alam sekitarnya, seperti tidak menggunakan bahan-bahan pupuk kimia yang berbahaya ketika menggarap tanaman dan ladang pertaniannya.
Selanjutnya menurut Kotler dan Lee (2005:258-259) bahwa terdapat suatu kesimpulan dari unsur-unsur kekuatan untuk memaksimalkan dan kosentrasi untuk menimalisasikan dari Konsep 6-program inisiatif pelaksanaan CSR, yaitu lihat tabelnya sebagai berikut:
6 - Program Inisiatif CSR (6-Kekuatan Untuk Memaksimalkan), yaitu sbb:
1. Cause Promotion
- Menciptakan reputasi perusahaan
- Menarik dan mempertahankan memotivasi tim kerja
- Mendukung pencapaian tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif sosial perusahaan terkini
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterlibatannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi & komitmen perusahaan
2. Cause-Related Marketing
- Mendukung tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif kegiatan sosial perusahaan kini
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterli- batannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi dan komitmen Perusahaan
3. Social marketing
- Membangun reputasi perusahaan
- Konstribusi terhadap tujuan umum dari bisnis perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Mendukung tujuan marketing
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas.
- Koordinasi dengan mitra kerja akan memerlukan waktu
- Staff pendukung yang keterlibatannya sangat berarti
- Biaya promosi yang penting dapat lebih bermanfaat
4. Philanthropy
- Membangun reputasi perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Melacak sumber pengeluaran dan nilai lebih sulit dilakukan
5. Community Volunteering
- Membangun reputasi perusahaan
- Menarik dan mampu mempertahankan motivasi tim kerja
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Melacak sumber pengeluaran dan nilai lebih sulit dilakukan
6. Socially Responsibility Business Practice
- Membangun reputasi perusahaan
-Konstribusi terhadap tujuan bisnis
- Memotong biaya operasi
- Memangkas kekeliruan terhadap regulasi.
- Membangun kekuatan hubungan dengan komunitas
- Mempengaruhi kegiatan insiatif kegiatan sosial perusahaan kini
- Pandangan upaya perusahaan dapat lebih mudah dihilangkan
- Upaya bantuan ahli dari eksternal diperlukan
- Konsumen merasa skeptis terhadap motivasi & komimen Perusahaan

Melalui ide dan gagasan buku CSR dengan tema, Corporate Social Responsibility; Doing the most good for your company and your case (2005), yang dirilis (release) oleh pakar manajemen pemasaran kelas dunia, seperti Philip Kotler dan Nancy Lee (Presiden dari Social Marketing Service, Inc. USA) tersebut diatas dengan menampilkan kasus-kasus praktik bisnis secara etis dari kegiatan kedermawanan sosial suatu perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat (AS) yang telah mempraktikan enam program inisiatif tersebut diatas, dan studi kasusnya yang menjadi bahan kajian secara konfrehensif tentang penilaian program kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan secara efektif, seperti dilaksanakan oleh perusahaan yang sudah terkenal kinerja dan reputasinya, yaitu; Hew-Packard, Ben & Jerry’s, IBM. Johnson & Johnson, American Express dan Microsoft hingga produk kosmetika Inggris bermerek terkenal, The Body Shop.
Kemudian Kotler mengungkapkan bahwa ‘corporate social initiative’ yang dapat manggambarkan secara umum mengenai perusahaan telah menetapkan sebagai payung program CSR yang berkaitan dengan kegiatan berbentuk seperti; Corporate social initiatives are major activities undertaken by corporation to support social cause and to fullfil commitments to corporate social responsibility.

Artinya, inisiatif perusahaan yang sebagian besar aktivitasnya dapat dikelola oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan sosial dengan mengisinya melalui komitmen untuk melaksanakannya dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan, yang sekaligus sebagai upaya untuk mendongkrak penjualan, pemasaran dan meraih pangsa pasar, hingga mampu menciptakan brand positioning (bottom line business goal) dan upaya membangun citra serta reputasi positif perusahaan (good corporate image and reputation) secara efektif dan memiliki berdaya guna atau manfaat tinggi di mata masyarakat.

D. TANTANGAN PRO dan KONTRA PROGRAM CSR
Anggapan lainnya, bahwa kini makin banyak perusahaan sekarang telah berupaya memperhatikan pelaksanaan program kepentingan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam kegiatan kepedulian dan kedermawanan sosial terhadap masyarakat tersebut, tetapi secara praktik terdapat program kepedulian sosial perusahaan yang hanya bersifat secara fungsional atau instrumental. Artinya, pelaksanaan kepedulian terhadap tanggung jawab sosial perusahaan sekarang yang masih banyak berpandangan atau menganggap bahwa pelaksanaan CSR tersebut hanya bersifat sekadar sebagai aksesoris belaka dari suatu ‘kegiatan pemanis’ program public relations, dan tujuan lain yang sesungguhnya program CSR adalah sebagai sarana untuk memaksimalkan profit yang menjadi target utama dalam kegiatan bisnisnya, maka program CSR telah dicanangkan tersebut bukanlah merupakan program prioritas utama atau secara integral yang merupakan sebagai bagian prioritas utama dalam kegiatan bisnis inti suatu perusahaan.
Bahkan kini, ada juga pihak perusahaan-perusahaan tertentu secara tegas untuk berpartisipasi menolak melaksanakan program CSR, karena dianggap dapat mengurangi pendapatan keuntungan, karena akan menambah menjadi beban berat bagi perusahaan yang bersangkutan, dan apalagi harus diatur mengenai pelaksanaan kewajiban program CSR ke dalam peraturan per -UU-an.
1. Pengertian 3-P (Triple bottom line)
Sebetulnya untuk merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang menjadi bagian dari keberhasilan kegiatan bisnis utamanya adalah melalui triple bottom line, menurut John Elkington dalam buku Canibal with forks: The Triple Buttom Line in 21st Century Business (1997), yaitu dikembangkan melalui suatu konsep economical prosperty (nilai harta kekayaan ekonomi), environmental quality (kualitas lingkungan hidup) , and social justice (keadilan sosial). Perkembangan tiga konsep tersebut yang selanjutnya terkenal dengan istilah “Formula 3-P”, yaitu terdiri unsur-unsur; people (kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial-masyarakat) , profit (berupaya mencari atau mencapai keuntungan bagi perusahaan), dan planet safe (kemampuan perusahaan demi menjaga kelestarian alam/bumi).
Perpaduan dari pengertian ‘3-P’ yang merupakan prinsip dari konsep dasar corporate social responsibility (CSR), dan bagaimana pihak perusahaan yang akan melaksanakan program tanggung jawab sosial tersebut terdapat dua bentuk konsep, yaitu

Pertama: Melalui program philantrophy (filantropi) atau kedermawanan perusahaan, dan dengan memfasilitasi kegiatannya berbentuk program terencana baik dan dalam jangka panjang, seperti pelaksanaan program community development (pengembangan komuniti) serta terkait dengan kegiatan sosial lainnya community empowering (pemberdayaan komuniti) dan hingga community relationship (membangun hubungan komuniti yang baik).
Dalam arti yang lainnya secara luas adalah pihak perusahaan yang memiliki program filantropi yang terencana tersebut mengarah pada investasi sosial (corporate social investment-CSI) dan hingga mampu meningkatkan dan penguatan masyarakat atau pengembangan komuniti (community development) yang sekaligus sebagai program modal sosial (social capital) terhadap kepedulian pembangunan sosial masyarakat yang berkelanjutan.
Kedua: adalah program jangka pendek, yaitu disebut dengan charity (karitas) yang tidak selalu terencana baik dan hanya bersifat spontanitas, yaitu bentuk program bersifat charity (karitas), yaitu bersifat memberikan bantuan amal, berbentuk jangka pendek dan biasanya untuk kebutuhan mendesak untuk mengatasi kendala-kendala sosial yang bentuk program kepeduliannya sesaat (spontanitas), dan secara mendesak (immediate relief to some lack or need). Misalnya, program untuk membantu meringankan beban penderitaan para korban sebagai akibat dari bencana alam atau ingin membantu kehidupan golongan masyarakat yang sangat miskin.

2. Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR
Bertolak belakang dengan pandangan tersebut diatas, dan kemudian muncul pemikiran yang mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat (mandatory atau obligatory responsibility). Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan (mandatory). Sebaliknya, pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contadictio in-terminis atau merupakan pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah menempatkan kubu pengusaha dengan pendekatan voluntary di posisi terdepan, maka argumen dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan dikembangkan berbagai standar program CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap perusahaan tanpa paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah yang mengikat.
Sedangkan kubu pengusaha pendukung CSR yang bersifat mandatory (kewajiban yang mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentuk corporate accountability movement. Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi – baik secara lokal, nasional maupun internasional – harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas CSR minimum.
Disamping itu, masih terjadi wacana, penolakan keras dari kalangan pelaku bisnis beraliran ‘kapitalisme’ yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu dari nilai profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut.
Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul “The Future of Capitalism” (1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social ‘must’ in capitalim. Artinya, tidak ada namanya aspek sosial dalam pandangan kapitalisme. Bahkan pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004), yang salaTebalh satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan amoral, dan “Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera.” Alasannya, bahwa perusahaan tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham, yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo “The business of business is business” yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa, there is one and only one social responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan amanah yang hanya dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut pajak terhadap perusahaan-perusahaan.
Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik berbentuk kapitalisme maupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT baru (UU No. 40/2007, tentang Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional pemberlakuannya tahun depan (2008) setelah PP-nya keluar, dan akan dikenakan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA). Seharusnya, kalau mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini menjadi ‘musuh publik’ atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman (1990), dalam bukunya; Business Ethic, Reading and Cases in Corporate Moralities, yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah dibayar mahal secara periodik.
Bunyi Pasal 74, UU PT baru (UU PT No. 40/2007), yang disahkan medio Juli 2007, yaitu Berkaitan dengan kewajiban melaksanakan tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility) sebagai berikut bunyinya:

  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaiitan dengan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya peseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Maka dengan demikian wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya telah tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya alokasi dana diperuntukan demi kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat atau tanggung jawab sosial yang seharusnya dikelola oleh pihak pemerintah.Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) termasuk tidak setuju atau secara terbuka menentang keras adanya kewajiban CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74, yaitu alasannya disatu sisi CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi disisi lainnya bersifat Mandatoris atau memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media Indonesia, 04/02/2009), maka Kadin, termasuk Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan permohonan uji material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyangkut UU N0. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib dilakukan korporat tersebut harus dicabut, kata Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.

Menurut alasan Hariyadi, pengaturan program CSR tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi tidak efisien serta tidak adil, artinya pasal 74, UU No. 40/2007 tersebut merupakan materi hukum materiil yang mengatur kewajiban perseroan dan dapat memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal yang memberatkan inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan baru tersebut.

"Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah. “Dengan membayar uang pajak tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan hal pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah, bukan digeser ke setiap perusahaan,” tegas Haryadi. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin, tidak ada satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan kewajiban pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi dalam sidang Pleno pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung MK, Jakarta (03/02/09).

Namun pada akhir MK tetap menolak Uji Material (Judical Review) mengenai pasal 74, ayat 1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program CSR bagi perusahaan, khususnya bergerak dibidang sumber daya alam yang telah diajukan oleh Wakil Ketua Umum Kadin tersebut (Koran Tempo, 16 April 2009), karena program CSR tidak bertentangan dengan pasal 33, UUD '45 dan "Majelis melindungi hak konstitusional warga yang berada dilingkungan perusahaan dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk membagi kekayaannya untuk kemakmuran rakyat," ujar Mahfud MD di Jakarta.

Kemudian yang Kedua, dampak buruk dari demi komersialisasi atau keserakahan dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis tersebut telah banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini kesadaran sosial-masyakat tersebut berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab moral dan sosial. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan raksasa bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan sosial yang menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan produknya akan disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan pekerjanya terhadap lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman serta iklim bekerja kurang kondusif, dan dampaknya dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha.


Ketiga
, bentuk proses evolusi perusahaan dari tahapan kepemilikan pribadi yang berubah menjadi milik publik, artinya secara tidak langsung perusahaan tidak lagi sekedar institusi bisnis belaka, tetapi telah berubah menjadi institusi sosial, dan konsekuensinya perubahan perusahaan tersebut sebagai institusi sosial tidak lagi selalu berorientasi mencari keuntungan secara sepihak, dan secara berimbang bahwa perusahaan yang bersangkutan untuk dituntut harus mampu memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya sebagai kegiatan prioritas utama dalam rencana investasi perusahaan. Sesuai dengan konsep mainstream mengenai pelaksanaan CSR yang diajukan oleh World Bank Group yang menyatakan, bahwa pengertian CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan komitmen bisnis untuk dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan karyawan serta pewakilannya, keluarga karyawan, komuniti setempat dan hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara pihak perusahaan yang bermanfaat baik dari aspek bisnisnya maupun demi kepentingan sosial dan pembangunan perekonomian yang berkelanjutan (sustainability economic development).

4. Mitra Kerja Sama dan Pelaporan Kinerja Program CSR
Untuk menyukseskan pelaksanaan konsep CSR tersebut harus diperlukan koordinasi dan kerja sama melalui bentuk partnership (kemitraan) antara stakeholder yang erat dengan keterlibatan dari tiga unsur pelaku utama sebagai penggerak tanggung jawab sosial perusahaan (Jurnal, CSR-EBAR. FE-UI, 2006:18. Edisi III. September-Desember), yaitu terdiri dari unsur-unsur; civil society (masyarakat), government (pemerintah) dan pihak business-man (pelaku usaha). Dalam contoh kasus pelaksanaan pengawasan kewajiban program CSR tersebut dari pemerintah Inggris sebagai upaya untuk mendorong kegiatan tanggung jawab sosial bagi perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta, yaitu tahun 2004 melalui peraturan Operating and Financial Review (OFR) yang mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mempublikasikan mengenai pelaporan kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungannya (CSR Publicatian & Reporting), serta disamping itu pemerintah Inggris mendirikan ‘CSR Academy’ atau sebagai perguruan tinggi pertama CSR di Manchester, Inggris untuk mendorong kompetensi CSR melalui serangkaian program pelatihan dan pendidikan khusus mengenai kegiatan CSR baik secara praktikal maupun kepentingan kajian ilmiah (Akademik).
Pengungkapan kinerja CSR melalui pelaporan berkelanjutan kini menjadi penting dan terutama ketika membuat keputusan investasi jangka panjang, dengan melalui pelaporan kinerja CSR tersebut akan mencerminkan apakah perusahaan telah menjalankan akuntabilitas sosial dan lingkungan secara optimal atau tidak, yang sekaligus akan terungkap bahwa perusahaan bersangkutan apakah telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif, konsensus dan komitmen usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan per-undang-undangan berlaku. Disamping itu, pihak perusahaan harus bersikap terbuka dan jujur dalam penyampaian informasi akurat atau pelaporan mengenai program pelaksanaan tanggung jawab CSR kepada stakeholder-nya.
Biasanya, pelaporan kinerja CSR tersebut akan mengungkapkan profile ringkas tentang visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan hingga perencanaan strategi perusahaan bersangkutan yang terkait dengan kinerja dari tolok ukur atau parameter bidang ekonomi, lingkungan dan sosial. Perusahaan yang secara sukses dalam menjalankan program CSR adalah tercermin dengan memiliki tiga nilai-nilai dasar (core values) yang terdapat di dalam perusahaan yang bersangkutan, dengan indikator yaitu: (1) aspek ketangguhan ekonomi, (2) tanggung jawab lingkungan, dan (3) akuntabilitas sosial. Menurut Jurnal eBAR (Economic Business Accounting Review). Edisi III (2006 : 88-89), maka parameter bagi tolok ukur kinerja pelaksanaan CSR itu dapat disimak, jika kinerja keuangan suatu perusahaan akan nampak dalam laporan rugi-laba keuangan secara periodik, dan sedangkan kinerja program CSR dapat dilihat dari ‘laporan berkelanjutan’ (sustainability report). Secara praktik dapat menggunakan istilah lainnya, seperti laporan social report, environmental report, atau social and environtmental report, sesuai dengan prosedur laporan dari organisasi lembaga GRI (Global Reporting Initiative) yang merupakan lembaga independen yang berdiri sejak tahun 1977, yang berpusat di Belanda.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi secara resmi atau tidak memiliki standar lembaga GRI Guidelines secara nasional, tetapi dalam hal ini pihak IAI-KAM (Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Manajamen) telah berinisiatif untuk mengadopsi pedoman laporan GRI tersebut pada pertengahan 2005, dengan mendirikan lembaga independen semacam GRI Guidelines dengan nama NCSR (National Center fo Sustainable Reporting), dengan misinya berbunyi yaitu: Menyusun dan menyebarluaskan pedoman laporan berkelanjutan untuk organisasi atau perusahaan di Indonesia. Diharapkan selanjutnya, sebagai lembaga independen NCSR yang dapat diakui keberadaan dan kredibilitasnya baik oleh pihak regulator (pemerintah), serta institusi/lembaga swasta maupun masyarakat.
Seperti contoh kegiatan telah dilakukan oleh IAI-KAM (6-7 September 2007), yang memberikan motivasi untuk mendorong kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan dalam beberapa bentuk penghargaan, misalnya bertema; Thd
e Best Social and Environment Reporting Awards 2007, dan Best Website dalam Indonesia Sustainability Reporting Awrads 2007, serta Social Empowerment Awards 2007, terhadap kebeberapa perusahaan industri pengelolaan sumber daya alam dan perusahaan telekomunikasi lainnya, karena proses evaluasi terhadap kegiatan CSR perusahaan tersebut cukup panjang atau laporannya yang layak dinilai telah berprestasi terbaik mengenai keberpihakan atas laporan pertumbuhan atau pertanggungjawaban sosial perusahaan.

--------------------------------***** --------------------------------------

Marketing Political Serial ke-2

Jumat, 02 Januari 2009



MARKETING POLITICAL CONCEPT


Oleh Rosady Ruslan

Memperhatikan perbedaan tujuan dasar dari pelaksanaan suatu kampanye yang dilakukan oleh antara pelaku marketing-commercial (pemasaran komersial) dan election campaign (kampanye pemilihan umum), secara esensial bahwa sesungguhnya pemasaran politik dari kandidat atau parpol tersebut pada prinsipnya hampir sama dengan strategi perencanaan pemasaran komersial suatu produk, tujuan iklan politik (political advertising) yang juga sama dengan iklan komersial lainnya, termasuk strategi komunikasi, persuasif dan edukatif yang merupakan hal sama dapat dipergunakan dalam kegiatan kampanye pemasaran produk komersial atau kegiatan dalam kampanye pemasaran politik dengan memanfaatkan media massa dan media advertising place untuk penyampaian pesan-pesan komunikasi terhadap para khalayak sasarannya (Lihat Tabel perbadingan) dibawah ini:


Tabel Perbandingan Marketing-Commercial & Election Campaign

A. Marketing – Commercial (Elemen Pemasaran-Komersia
  1. Perusahaan Komersial
  2. Produk Barang atau Jasa Pelayanan yang memiliki fitur produk dan bermanfaat tertentu bagi consumen atau customer-nya
  3. Kompetitor (Produk saingan lainnya)
  4. Periklanan Produk Komersial
  5. Presentase Tingkat Pangsa Pasar
  6. Khalayak Konsumen dan Pelanggan-nya
  7. Profit atau Keuntungan Material dari aspek penjualan dan pemasaran produk.
  8. Analisis dan Survei Konsumen
  9. Identifikasi potensial Pasar
  10. Riset Pasar
  11. Peramalan & Trend Model atau Merek tertentu Produk yang disukai di pasaran
  12. Fokus Kelompok & Riset Survei Pasar
  13. Point-of-Purchase (Display Promosi)
  14. Menciptakan Citra Perus. dan Kualitas & Kuantitas Prod. barang & layanan jasa.
  15. Teknikteknik Persuasif
  16. Saluran Media Komunikasi
  17. Tim Penasihat Kampanye
  18. Permintaan Produk
  19. Kegiatan Lembaga Perusahaan yang berorientasi Bisnis dan Komersial
B. Election Campaign (Elemen Kampanye Pemilu)
  1. Partai Politik atau Organisasi Politik
  2. Kandidat Politisi, Parpol yang Mengusung Isu atau Tema, hingga Gagasan, ideologi, & Program Kesra dan Pembangunan Nasional.
  3. Pesaing atau Penantang Politisi lainnya
  4. Periklanan Partai Politik/Kandidat politisi
  5. Persentase Perolehan Suara Banyak dari Konstituen-nya
  6. Warganegara, PesertaPemilu, & Pilkada
  7. Jumlah Peraih Suara Pemilih Banyak
  8. Analisis & Survei Peserta Pemilu, Pilcaleg, Pilpres dan hingga Pilkada
  9. Identifikasi Unit-unit Konstituen
  10. Riset Pemilu,Pilcaleg, Pilpres, Pilkada
  11. Peramalan Trend Pemilihan Suara Terbanyak di Suatu Daerah Pemilihan tertentu yang akan direbut peserta Pemilu
  12. Fokus Kelompok & Riset Survei atau hasil jajak Pendapat Publik.
  13. Display Hasil Suara diraih,& diumumkan
  14. Menciptakan Citra, Populeritas dan Tebar Pesona Kandidat Politisi & Parpol
  15. Teknik-teknik Promotif, Persuasif dan hingga Edukatif Publik sebagai pemilih.
  16. Saluran Media Komunikasi Politik
  17. Tim Penasihat Kampanye Politik
  18. Hasil Perkiraan Suara yang Diperoleh
  19. Kegiatan Lembaga Partai Politik Berorientasi Peraih Pendukung Terbanyak & Perebutan Pusat Kekuasaan Politik.

(Diolah dari sumber buku; Handbook of Political Marketing (Newman.1999:390)

C. Proses Kampanye dan Pemasaran Politik.
Menurut Newman (1999:411), bahwa sebagai ilustrasi dari perbedaan pemahaman pemasaran politik yang secara faktual terdapat perbedaan konsep dan fokus antara kandidat (candidat focus) dan lembaga parpol, misalnya dimana kandidat hanya terfokus pada kebijakannya terhadap pengertian dari konsep produk (product concept) yang diperkernalkan ke khalayaknya. Sedangkan hal yang lainnya hanya terfokus apa yang dapat dirasakan atau yang diinginkan oleh pihak pemilih (konstituen) yang terkait dengan konsep pemasarannya (political marketing concept), atau pihak partai politik (parpol) juga ingin terfokus pada kinerja atau penampilan citra lembaga yang terkait dengan konsep penjualan (selling concept), dan bagaimana untuk menonjolkan kampanye politik melalui program pembangunan yang menarik, platform politik, gagasan atau ide-ide atau isu-isu yang diusung oleh parpol yang memiliki daya tarik terhadap para pendukung utamanya atau simpatisannya (party concept) dan (Lihat Model dan Proses Kampanye Pemasaran Politik).

Pada kolom kampanye pemasaran politik (The Political marketing campaign), yaitu terdapat, yaitu:
  • Sigmentasi pasar pemilih yaitu secara berurutan dibawahnya mengenai penilaian kebutuhan pemilih, profil dan identifikasi sigmentasi dari pihak pemilih. Kemudian dikaitkan dengan,
  • Kolom positioning kandidat yang berisikan urutan penilaian kekuatan dan kelemahan kandidat yang maju ke pemilihan, penilaian berkompetisi, lalu target sigmentasi yang akan dicapai oleh kandidat dan kemampuannya membangun citra atau pesona dirinya dimata khalayak pemilihnya.
  • Kolom strategi formulasi dan implementasi, yang berkaitan dengan tahapan dari aktivitas bauran pemasaran politik, komponen The 4-Ps, berisikan: a). Unsur produk berbentuk program kerja parpol dan kampanye gagasan politik yang dikampanyekan melalui platform atau gagasan program parpol yang ditawarkan ke khalayak pemilihnya, b). Push marketing, yaitu upaya mendorong pamasaran politik terhadap pendukung atau pemilih dari grass Grassroot-nya, c). Pull marketing, yaitu sebaliknya sebagai upaya pemasaran politik untuk menarik perhatian mengenai pemberitaan, dan publikasi kampanye program politik.

Dapat juga bekerja sama dengan pihak wartawan dan berbagai media massa, baik media cetak atau media elektronik, d). Menyelenggarakan survei pemilih atau riset pendapat opini publik, media polling, dan opini polling. Terakhir adalah tahapan kontrol dan pengembangan perencanaan serta kegiatan organisasi partai politik baik secara strategi jangka panjang maupun taktikal pelaksanaan aktivitas politik dalam jangka pendek.
Berkaitan dengan kekuatan dorongan pengaruh lingkungan (environmental forces), yaitu berisikan tahapan-tahapan, yaitu: a). Tekhnologi yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi komputer atau saluran jajaringan internet, media saluran televisi, dan melalui korespondensi atau surat-menyurat antar parpol dengan para kandidat dan pemilih atau konstituennya, b). Perubahan struktur peranan tahapan pemilihan, pemilihan primer dan hingga acara konvensi, regulasi mengenai keuangan dan tata cara pelaksanaan sistem perdebatan antar kontestan pemilihan umum, c). Perubahan pengaruh kekuatan sebagai pihak perantara kandidat, konsultan, politisi, parpol, media massa dan pemilih. Sedangkan kolom pelaksanaan perencanaan dan proses kampanye politik (the political campaign), yaitu contoh model pemilu di AS yang berkaitan dengan tahapan kampanye pada persiapan pemilihan primer, primeri, proses konvensi hingga masuk ketahapan pemilihan umum.


D. Prilaku Pemilih kandidat Politik dan Parpol
Pada prinsipnya, bidang pemasaran politik yang berkaitan dengan prilaku pemilih adalah sama dengan pihak pembeli (a voter is buyer), tetapi menurut Newman & Sheth (1987) yang menunjukan ada beberapa perbedaan prilaku antara pembeli dan pemilih yaitu keputusan dalam menentukan sikap pemilih (voter) adalah kurang rasional jika dibandingkan dengan keputusan pihak pembeli (consumer). Singkat cerita bahwa pihak pembeli dalam bertransaksi suatu produk yang ditawarkan selalu melihat harga, kualitas dan kuantitas kondisi produknya, konsumer secara faktual tidak memerlukan waktu panjang, serta lebih menekankan keputusan yang rasional untuk membeli sesuatu barang yang terkait dengan model, manfaat, spesifikasi teknis dan dengan menampilkan citra atau kualitas merek suatu produk yang menarik perhatiannya.
Sebaliknya, prilaku pemilih (voter behaviour) berkaitan dengan keputusan menentukan sikap pilihannya terhadap parpol dan kandidat tersebut tidak selalu otomatis dan bersifat lebih tradisional, bersifat abstrak karena terangsang oleh dorongan hatinya untuk memilih suatu merek atau nama parpol dan kandidat yang muncul dalam emosinya, berdasarkan atas suka atau tidak suka dalam menentukan pilihannya. Pihak pemilih sebetulnya yang menginginkan konfirmasi lebih jauh mengenai tujuan pihak parpol yang sesuai atau tidak dengan harapan-harapan, keinginan, kebutuhan dan motivasinya si pemilih. Maka menurut Kapter L. (1990), ada beberapa tahapan yang penting dari pihak prilaku pemilih (voter behaviour) dalam menentukan pilihannya terhadap kandidat.

E. Komunikasi Politik
Tujuan sebenarnya dari komunikasi politik (political communication) yaitu berkaitan dengan impression management (manajemen mengelola kesan) yang berati terfokus pada pencapaian target kelompok dengan mendefinisikan melalui komunikasi strategis, dan sedangkan management image (manajemen mengelola citra) yang berarti merancang pesan-pesan politik melalui atribut kampanye , slogan, lambang atau simbol dan efektivitas strategis komunikasi yang menimbulkan kesan positif, serta adanya kepercayaan dari konstituennya. Kemudian kampanye politik (political campaign) yang biasanya terkait dengan perencanaan secara menditail seperti kegiatan dalam kampanye pemasaran politik, pesan-pesan politik, tema orasi, slogan, jargon-jargon atau isu-isu yang diusung dan tim pendukung kampanye yang solid dengan kemampuannya membangun kepuasan pemilih (voter satisfaction) terhadap keberhasilan pelaksanaan komunikasi yang terencana baik melalui media massa (media planning). Paling tidak, dalam komunikasi penyampaian pesan-pesan melalui Parpol atau kandidat yang memiliki tiga pengertian, yaitu melalui media salurannya adalah sebagai berikut:
1. Public Relations, yaitu meningkatkan perhatian pemilih terhadap publikasi pesan-pesan politik melalui saluran komunikasi politik terpercaya yang pesampaian pesan-pesannya ke berbagai surat kabar, majalah, publisitas/promosi atau media massa eletronik lainnya untuk meningkatkan pupuleritas secara signifikan di khalayaknya. Kemungkinan terjadi tekanan pesan yang disampaikan dengan menampilkan suatu citra yang diinginkan melalui media massa biasanya terlalu berlebih-lebihan, karena tindakan tersebut cenderung untuk menciptakan berita baik (good news) sebagai upaya menutupi berita-berita yang bersifat buruk (bad news).
Salah satu keberhasilan aktivitas kampanye PR dari kandidat muda (Capres AS), Barack Obama, 47 melalui pemanfaatan media on-line internet yaitu website-situs Jajaringan Sosial seperti melalui Facebook atau Blog-nya (
www.barackobama.com atau www.my.barakoma.dom) yang selalu meng–update sebagai media saluran komunikasi atau untuk tujuan berdialog dengan sedikitnya 300 ribu yang mengaksesnya atau konstituennya, dibandingkan dengan Capres AS, Hillary yang hanya memiliki teman sekitar 30 ribu saja. Dan hal ini, sekaligus bagi Obama mampu menciptakan populeritas tinggi, dan citra positif melalui slogan yang terkenal dengan tema kampanyenya; Change, We Believe In, Change we need, Yes We Can , termasuk para kelompok artis penyanyi AS menciptakan lagu khusus berjudul Yes We Can untuk mendukung Obama sebagai Presiden ke-44, serta didukung dengan tidak atribut kampanye yang kurang 400 produk media kampanyenya yang disebarluaskan mulai dari kaos T-shirt, topi, pin, jacket, cankir (mog), banner, spanduk, poster dan hingga sticker lain sebagainya. Termasuk menggelontorkan dana iklan politik sekitar US$ 75 juta (Rp. 825 milyar lebih dengan nilai Rp 11.000/US$).
Selain masa kampanye Capres lalu sering mengadakan kunjungannya pada Juli 2008, ke berbagai negara Uni Eropa, Jerman, Prancis dan hingga ke Israel dan negara Arab serta Irak yang disambut sangat antusias, hangat dan dielu-elukan oleh ribuan warga negara dan kepala negara setempat karena citra, daya pesona, pengaruh karisma dan populeritas sosok kandidat Obama bagaikan selebritis yang ‘mumpunisangat terkenal.
Fenomenal memang, pada awal tahun 2009, sosok Barrack Hussien Obama mulai dari kampanye politik Capres dari Partai Demokrat, dan mampu meraih kemenangan Pemilu-Pilpres hingga pelantikan menjadi Presiden AS ke-44 menimbulkan banyak istilah; Obamanomic, Obamamaniac, dan hingga Obamaphilia (kegilaan yang berlebihan terhadap pribadi Obama). Sangat luar biasa dan menjadikan euphoria bagi para pengagum Obama yang datang sekitar 4 juta lebih tamu atau pelancong yang memadatkan kota Washington hanya untuk menyaksikan langsung pelantikan Obama di Washington’s Convention Center, pada 20 Januari 2009, dan ditambah lagi saat yang sama miliaran pemirsa di saluran TV dari berbagai negara di planet Bumi ini ikutmelototipengambilan sumpah pelantikan Presiden AS ke-44 tersebut yang melebihi dari pertunjukan musical show terkenal manapun tanpa mampu menandingikeriuhan, danpopuleritas’ Obama keturunan Afro-Amerika (black American), bahkan termasuk sebelumnya Presiden AS selama dua ratus tahun lalu yang mampu menandingi daya tarik kharisma Obama sebagai The first US black President.
Tetapi jangan lupa, terdapat sisi dampak negatif lainnya bahwa nilai saham di berbagai pasar bursa di Wall-street dan termasuk dunia-imternasional justruanjlok tajam’, arti euphoria terhadap sosok Obama tidak mampu mengubah sentiment negatif investor atau spekulator saham yang berubah (change) menjadi positif. Artinya dunia bersiap-siap menghadapi tahapan krisis keuangan global jilid ke-dua (resesi) dan disamping itu adanya krisis kemanusiaan dari pihak sipil sebagai akibat korban perangkeberutalantentara Israel dengan para pejuang Palestina di jalur Gaza yang harus diselesaikan dialog secara damai oleh AS dan PBB serta Negara Arab lainnya.

Tingginya harapan terhadap Obama menjadi Presiden Amerika Serikat ke-44 sebelumnya sempat membuat pasaroptimisatau sentiment positif untuk mengurangi dampak resesi ekonomi. Namum setelah dilantik dan program 100 hari kerja yang dicanangkan justru banyak mengalami kendala-kendala.
Bahkan rencana penyelamatan sektor financial yang diumumkan Menteri Keuangan AS, Timothy Geithener untuk men-stimulus ekonomi Amerka Serikat yang disetujui oleh Senat tersebut, tetapi ditanggapi 'skeptis' oleh investor yang justru memicu kembali gejolak di pasar finasial global ditanggapi secara negatif. Apalagi baru-baru ini di Amerika tengah dilanda resesi ekonomi akibat krisis keuangan global tersebut yang menyebabkan banyak pekerja terkena PHK masal atau sedikitnya 2-3 juta pekerja di PHK oleh beberapa perusahaan di AS.


2. Personal Contact, merupakan media kontak personal dari sosok penampilan karakteristik dan sikap kandidat yang dapat dikontrol dengan baik terhadap kesan-kesan publik sebagai khalayak pemilihnya secara positif. Kandidat harus memiliki kemampuan kontak personal atau berdialog secara langsung untuk penyampaian pesan-pesannya yang selaras atau harmonis dengan harapan, aspirasi atau keinginan dari target kelompok tertentu sebagai khalayak sasaran pemilih. Khususnya melalui kampanye road-show, door to door campaign, bakti sosial, forum dialog, kampanye terbuka atau temu muka langsung dengan para konstituenya. Termasuk menggunakan media jajaringan sosial on-line, Facebook, Blog dan Youtube bagi setiap Parpol atau kandidat atau Caleg (calon legislatif) sebagai upaya memburu suara sebanyak-banyak dengan Pemilu sistem suara terbanyak kini akan berdampak saling berkompetisi, saling menyikut dan hingga saling menyerang (negative campaign) antar Caleg satu Parpol atau dengan Parpol lainnya.

3. Political Advertising, melalui media komunikasi periklanan politik yang berkaitan dengan kekuatannya untuk menciptakan citra dan tebar pesona pribadi kandidat (candidat & performace image), maka setiap konten pesan, dan lambang atau simbol yang ditempatkan melalui saluran media komunikasi iklan politik pemasaran tersebut harus memiliki tema atau maksud yang konsisten, memiliki arti yang jelas, fokus dan secara terus menerus (repition) untuk menanamkan kesan-kesan merek (brand impressions) atau slogan tertentu ke dalam aspek psikologi atau kebenak khalayak sasaran secara tepat, mudah diingat dan efektif. Menurut Russel H, Colley (1961) menulis buku berjudul “DAGMAR” (Defining advertising Goals for Measured Advertising Result) bahwa efek iklan politik yang sama dengan efek iklan komersial lainnya yang mampu menciptakan;

  1. Efek Dramatisir, merupakan perekayasaan atau menimbulkan efek ‘wah’ terhadap produk atau program tertentu yang dikampanyekan melalui iklan komersial Parpol atau kandidat elite politisi di berbagai media massa.
  2. Efek Persuasif, melakukan bujukan agar masyarakat sebagai target sasaran untuk menggunakan atau memilih produk atau program tertentu melalui manfaat atau tema yang bernada ‘superlatif’ atau ‘superioritas’ untuk membujuk konstituennya ‘pilihlah saya dan saya yang terbaik’.
  3. Efek pengingat, merupakan iklan pengingat (reminder) agar masyarakat sebagai target sasaran tetap loyal dengan memanfaatkan beberapa peristiwa atau tema iklan yang terkait dengan acara perayaan keagamaan, nasional atau momen-momen tertentu.
  4. Efek Informasi, merupakan iklan komersial yang menginformasikan produk dan program serta keberadaan suara parpol atau kandidat presiden dan Caleg serta pejabat publik lainnya untuk berkampanye melalui atribut dan iklan lainnya kepada masyarakat.

Pemilu Indonesia yang berlangsung bulan April (Pilcaleg) dan Juli 2009 (Pilpres) berbagai cara untuk berkampanye melalui iklan politik (political advertising) dan berupaya menarik perhatian masyarakat agar mau memilih masing-masing kandidat Capres melalui tema kampanye politik, seperti PDIP dengan Program Sembako Murah, Peduli Wong Cilik, dan Partai Demokrat mengusung tema tentang Keberhasilan SBY-Partai Demokrat telah menurunkan tiga kali harga BBM. Keberhasilan SBY dan Pemerintah telah menurunkan BBM tersebut banyak yang mempersoalkan, “apa ya, prestasi tersebut dari keberhasilan program pemerintah SBY-JK yang telah menurunkan BBM sampai tiga kali”. Padahal banyak masyarakt tahu bahwa penurunan BBM tersebut terkait erat dengan anjloknya harga pasaran minyak dunia-internasional, bukan murni karena program keberhasilan pemerintah SBY-JK.
· Disamping itu Mbak Mega, Ketua Umum PDIP yang cukup ‘ceriwis’ mengkritisi pemerintahan SBY-JK yang dilontarkan baru-baru ini (27-29/01/09) ketika membuka resmi pada acara Rakernas PDIP di Surakata, menilai bahwa SBY gagal memenuhi janjinya dan “Faktanya, pemerintah menjadikan rakyat seperti permainan yoyo, dibikin naik-turun, dilempar ke sana-kemari yang membuat rakyat semakin tidak menentu hidupnya, “ ketus Mega. Sebelumnya hal yang sama mengkritik pemerintahan SBY melalui pernyataannya Mbak Mega yaitu seperti, “Bagaikan Tari poco-poco, satu langkah kedepan dan satu langkah kebelakang.” “Hanya melakukan tebar pesona”. “Hanya mampu berjanji setinggi gunung, tetapi kenyataannya hanya sebatas kaki bukit.”
Masalah biaya kampanye iklan politik sampai tahun 2008 telah mencapai Rp 2,2 triliun atau naik 66% dari tahun sebelumnya di tempatkan berbagai media massa (media place), angka yang cukup pantastis telah diglontorkan oleh pihak Parpol, Caleg, Cagub/Cawagub, Cakot/Cawakot dan hingga Capres/Cawapres peserta Pemilu 2009 tersebut hanya untuk sekedar mencari ‘populeritas dan tebar pesona atau citra’ kepada rakyatnya sebagai pemilih yang belum tentu berpengaruh secara signifikan, karena rakyat semakin cerdas dan kritis atau tidak terlalu percaya terhadap kampanye iklan-politik yang lebih banyak menebar ‘harapan-harapan’ dari pada ‘kenyataannya.’


Kiat untuk mendukung keberhasilan kandidat ingin tetap menang ketika berlaga di pada setiap kontes periode pemilihan Pilcaleg, Pilkada, Pilpres atau Pemilu, perlu meningkatkan citra diri dan kemampuan tebar pesona ke para konstituen atau khalayak pemilihnya untuk meningkatkan populeritasnya melalui beberapa atribut citra kandidat politik, yaitu antara lain kiat-kiatnya menurut Schweiger & Adami (1999) yang dikutip oleh Newman (1999:361), sebagai berikut dibawah ini:
(Dimensi) ATRIBUT CITRA KANDIDAT

1. (Atribut Positif)
a. Kejujuran
  • Penuh kejujuran, Integritas Pribadi dan Profesionalisme yang tinggi
  • Terpercaya dan ucapannya dan sikapnya dapat Dipegang
  • Transparansi, dan kejujuran yang dapat dihandalkan, memiliki Reputasi baik.
  • Memiliki pengalaman baik.
b. Kualitas
  • Pengetahuan & Wawasan luas
  • Latar berpendidikan tinggi
  • Cakap dan Berkemampuan
  • Konseptor & Perencana baik*Memiliki pengalaman baik

c.Akar Nasional

  • Referentasi negara yang baik dan mengetahui keperluan pembangunan bangsa dan negaranya
  • Bersifat Tradisional-Bangsanya
  • Ketertarikan akan kultur bangsanya, dan Cinta pada negerinya
  • Terasing dari bangsa dan negaranya.
d. Kekuatan
  • Memiliki kekuatan, keberanian pribadi yang tinggi sebagaiPemenang
  • Memiliki jajak karier yang jelas, Energik, Dinamis dan penuh Kesuksesan.
2. (Atribut Negatif)
a. Kecurangan

  • Pernah terjerat masalah 'skandal sex' dan masalah kasus hukum-pidana
  • Melakukan tindakan penggelapan dan penipuan dengan pihak lain
  • Pelangaran terhadap Perjanjian Kontrak dan kecurangan-2 lainnya.
b.Kualitas Lemah
  • Tidak memiliki pengetahuan baik tentang manajemen Pemerintahan dan Bisnis yang baik
  • Tidak berpendidikan tinggi secara formal
c. Akar Nasional Lemah
  • Teasing dari akar bangsa dan negaranya
  • Tidak mengetahui secara mendalam sejarah perjuangan dan idiologi negara atau bangsanya
d. Kelemahan-Personal
  • Lemah dan Penakut
  • Peragu tidak berani menghadapi Resiko/Tantangan serta tidak memiliki ketegasan
  • Tidak memiliki daya dukungan yang kuat dari berbagai pihak yang terkait & pendukungnya

Kandidat atau Parpol sebagai peserta Pemilu tentunya akan memiliki kemampuan untuk menciptakan sigmentasi, positioning dan targeting-nya dalam mencapai tujuan strategi pemasaran politiknya, menurut Baer (1995) seperti yang dikutip oleh Newman (1999:408), dengan menyarankan bahwa kandidat harus membentuk suatu strategi komunikasi yang secara total menampilkan pesan-pesan melalui isu, tema dan slogan melalui berbagai media siaran elektronik TV, Radio dan internet diharapkan mampu memelihara pesan-pesan yang momentum secara efektif terhadap target kelompok khusus di saluran media siaran khusus seperti website internet (situs blog atau facebook), yang sangat diperlukan dalam strategi komunikasi pihak kandidat atau politisi yang khususnya untuk mencapai target khalayak tertentu atau kelompok kecil yang berpengaruh ditataran baik pemilih yang bersifat mengambang atau pemula (floating voters or swing voters) maupun termasuk mencapai pemilih secara umum lainnya.
Menurut Newman (1999) bahwa strategi opsi kandidat tersebut, yaitu terlihat dengan jelas yang harus memiliki cara bagaimana kandidat dapat menentukan strategi posisinya, sigmentasi dan target yang hendak dicapainya melalui kemampuan berkomunikasi dengan pihak khalayak pemilihnya (voter), yaitu posisi kandidat tertentu terdapat apakah itu benar atau salah, dengan penilaian yang sama bisa benar dan juga salah atau alasan yang sama, yang terdapat dalam empat kategori opsi strategi kandidat, yaitu penjelasannya sebagai berikut (lihat gambaran dibawah: Strategi Opsi Kandidat):

1. Reinfocement strategy, artinya strategi memperkuat kembali kandidat yang dipergunakan untuk mendorong pemilih dalam menentukan pilihan kandidat pada posisi yang benar dan dengan alasan yang benar. Kesungguhan dari suatu strategi untuk memperkuat pilihan dari pihak pemilih melalui komunikasi penyampaian pesan-pesan dengan pertimbangan alasan yang benar atau tepat dalam kegiatan kampanye secara positif. Strategi memperkuat kembali (reniforcement) ini pernah dipergunakan secara cerdik dan efektif sebagai target kandidat presiden Bill Clinton meraih posisi meraih kemenangan dalam kampanye politik Pemilu (1993), dan target kemenangannya dalam Pemilu AS tahap berikutnya (1996).

2. Rationalization strategy, merupakan strategi rasionalisasi yang dipergunakan untuk mendorong pemilih dalam menentukan pilihan kandidat yang benar dengan alasan pilihan yang salah, maka dengan demikian strategi komunikasi yang dibutuhkan harus lebih hati-hati untuk menentukan sigmentasi pemilihan menurut atau alternatif dengan sikap pemilih (voter attitudes), dan harus berkaitan juga dengan titik pertemuan dari sikap kandidat lainnya. Strategi rasional ini dipergunakan adalah strategi alasan yang berbeda antara kandidat Barack Obama (Demokrat) ketika melawan kandidat John McCain (Republik) mengenai isu kampanye penarikan pasukan AS di Irak, Obama mengangkat isu penarikan secara bertahap pasukan AS di Irak, sebaliknya McCain tetap ingin mempertahankan pasukan AS yang sama atau meneruskan kebijakan George Bush.

3. Inducement strategy,
merupakan strategi mendorong atau untuk membujuk pemilih menetapkan pilihan kandidat yang salah, dan tetapi dengan alasan yang benar. Artinya, strategi pihak kandidat berupaya membujuk melalui suatu penjelasan mengenai alasan yang benar terhadap nilai-nilai konsistensi perjuangannya yang ditampilkan oleh kandidat atau parpolnya. Strategi membujuk ini pernah dipakai secara sukses tahun 1997 oleh Kandidat Tony Blair dan Partai Buruhnya, Inggris ketika melawan incumbent Margaret Thatcher (Partai Konservatif).

4. Confrontation strategy, merupakan bentuk strategi konfrontasi, yaitu dimana posisi pemilihan kandidat yang salah dan dengan alasan-pun yang juga selalu salah.

Sesungguhnya pemilih menetapkan pilihan yang serba salah terhadap kandidat atau parpolnya, merupakan hal yang sama dengan memilih ‘kucing dalam karung’ atau pemilihan akan jatuh pada kandidat atau parpol yang lain lebih baik (best of a bad bunch). Model strategi konfrontasi ini lebih cocok dipergunakan dalam kampanye negatif atau membandingkan (negative or comparative campaign), pernah dipergunakan oleh kandidat presiden AS, John McCain (2008) menyerang lawan politiknya dengan mengangkat isu kandidat Presiden AS Barack Obama hanya mampu tebar pesona bagaikan selebritis, belum berpangalaman, tidak patriotisme dan hingga perbedaan warna kulit atau isu rasial. Termasuk kampanye menjelang Pemilu Indonesia (2009), sudah mulai memanas dan strategi konfrontasi ini dipergunakan oleh kandidat Presiden Wiranto dari Partai Hanura melancarkan negative campaign melalui kasus tema iklan politik yang dipasang di media surat kabar nasional dengan tema mempertanyakan pemerintah SBY tentang opsi kenaikan BBM di perengahan tahun 2008 lalu.
Termasuk wacana Capres atau kandidat presiden harus dari kalangan muda dan independen yang berusia kurang dari 50 tahun yang menginginkan suatu ‘perubahan’ (change), namum bagi pihak yang sudah mapan (incumbent) diatas usia 50-60 harus ‘menyingkir’, sebagai pemimpin tokoh tua tetap tidak setuju dan ingin siap tampil berlaga sebagai presiden RI - No.1 di Pemilu selanjutnya pada periode 2009-2013, dengan berbagai program maupun tema pembagunan yang diusung untuk menarik perhatian konstituen-nya. (Lihat Gambaran Strategi Kandidat) di bawah ini:



-------- to continued -------

DAFTAR PUSTAKA

Blythe, Jim. 2003. Essentials of Marketing Communications (Second edition). London, England: Prentice Hall, an imprint of Pearson Education
Brannan, Tom. 2004. Integrated Marketing Communication. Memadukan upaya Public Relations, Iklan, dan Promosi membangun identitas merek. ( terjemahan oleh Slamet). Jakarta: Penerbit PPM.
Duncan, Tom. 2002. IMC: Using Advertising & Promotion to Build Brands. New York: Published by Mcgraw-Hill Companies, Inc.
Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising & IMC. New York. Published by McGraw Hill Companies, Inc.
Fill, Chris. 2002. Marketing Communication. Contexts, Strategies and Application.
Edinburgh Gate, Harlow: Pearson Education Ltd.
Harris, Thomas L. 1991. The Marketer’s Guide Public Relations. How Today’s Top
Companies are Using the New PR to Gain a Competitive Edge. New York: John Wiley & Sons Inc.
Harris, Thomas L. 1998. Value Added Public Relations. The secret weapon of integrated Marketing. USA: Published by NTC Business Books.
Kotler, Philip. 2000. Marketing Management (The Mellenium Edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River.
Newman, Bruce I. 1999. Handbook of Political Marketing. USA,California: Sage Publication
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT Gramedia.
P. Seitel, Fraser. 2004. The Practice of Public Relations (Ninth edition). New Jersey: By Pearson Education, Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi, Aspek tambahan, Komunikasi Pemasaran Terpadu. (Jilid I, Edisi ke-5). Jakarta: Penerbit Erlangga