CSR Seri ke-7 dan 8

Selasa, 23 Desember 2008


d
KONSEP dan APLIKASI
SOCIAL MARKETING dan SOCIETAL MARKETING

Oleh Rosady Ruslan

Pengertian dari dua istilah, yaitu social marketing dan societal marketing, walaupun kedua hal tersebut terlihat sama, tetapi sebenarnya terdapat konsep yang sama, tetapi pengertian yang saling berbeda, termasuk dalam penerapan pemasaran dan kegiatan sosialnya. Pengertian pertama, social marketing yang berarti ‘pemasaran sosial’, yaitu merupakan upaya pemasarannya adalah bagaimana untuk mengubah prilaku sosial (target adopter atau publik sasarannya) dengan mengkombinasikan pendekatan komunikasi tradisional dan termasuk memanfaatkan teknologi komunikasi-informasi yang canggih melalui keterampilan pihak pemasaran (social marketer) untuk bertujuan suatu perubahan sosial (social change).
Menurut Philip Kotler, kedua konsep tersebut diatas yang sebelumnya disebut dengan pemasaran tanggung jawab sosial (social responsibility marketing) yaitu telah dikenal sebelumnnya pada tahun 1970-an (Majalah Marketing Eidisi 11/VII/November 2007:40), dimana mulai membedakan antara istilah dari pemasaran bisnis, pemasaran non-profit, pengembangan social marketing dan hingga konsep societal marketing.
“Kita tahu apa arti dari pengertian pemasaran bisnis yang selalu bertujuan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan lain halnya dengan tujuan pemasaran non-profit (sosial) yaitu pengembangan usaha-usaha yang dilaksanakan oleh lembaga nir-laba untuk menarik kliennya, penyumbang atau para donatur, dan berupaya menghimpun dana untuk mendukung kegiatan pelayanan sosial-masyarakat, termasuk kegiatan kebudayaan masyarakat yang tentunya membutuhkan dukungan bantuan financial (keuangan) dari kalangan para donatur yang peduli tanggung jawab sosialnya. Seperti dana bantuan untuk menunjang kegiatan layanan sosial publik bidang pendidikan, kesehatan, perawatan museum dan hingga pengembangan kebudayaan tradisional.”
Selanjutnya formulasi mengenai social marketing, menurut Kotler adalah sebagai suatu disiplin pengetahuan yang mencoba untuk menciptakan perubahan perilaku sosial masyarakat secara positif tentang bagaimana memanfaatkan pola atau kebiasaan makanan, minuman dan olahraga yang mengarah kepada kehidupan lebih baik demi bertujuan menjaga kesehatan, disamping itu mampu menghilangkan perilaku negatif yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, dan menggunakan obat-obatan terlarang. Sedangkan pengertian lainnya dari societal marketing tersebut terfokus pada dampak yang ditimbulkan oleh praktik-praktik pemasaran pada masyarakat sebagai khalayak sasaran, yaitu bagaimana suatu produk yang dikonsumsi kosumen harus mampu membedakan antara pemuasan kebutuhan seseorang, dengan menyeimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan baik terhadap dirinya maupun publik. Contoh, merokok dapat memenuhi kebutuhan untuk memuaskan selera keinginan seseorang, tetapi dilain pihak akan merusak atau berdampak negatif terhadap kesehatannya, dan hingga meningkatkan resiko atau biaya kesehatan sosial menjadi lebih tinggi.
Pada akhirnya, kata Kotler yang selanjutnya dalam konsep pelaksanaan pemasaran tanggung jawab sosial (social responsibility marketing) tersebut akan menentang jika perusahaan selain memperoleh untung besar dari faktor yang terkait dengan kesehatan masyarakat sekelilingnya, tetapi justru pihak perusahaan harus mempunyai kewajiban berkonstribusi demi kepentingan meningkatkan program kesejahteraan dan menjaga kesehatan bagi konsumen pada khususnya, maupun masyarakat lain pada umumnya dengan disertai niat yang baik dan tulus. Nancy Lee dan Philip Kotler, sebelumnya telah menerbitkan buku Corporate Social Responsibility (2005), yaitu untuk membantu pemilik perusahaan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah kita sudah memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi publik?. Seberapa banyak yang harus kita kembalikan?. Investasi apa yang paling baik agar dapat menciptakan kebaikan-kebaikan bagi pihak perusahaan dan publiknya?. Bagaimana mengukur dampak yang timbul dari konstribusinya terhadap masyarakat, termasuk mampukah meningkatkan reputasi dan citra positif perusahaan ?.
Setiap perusahaan paling tidak mempertimbangkan dua hal isu penting, yaitu memiliki etika bisnis (business ethic) yang benar, dan berikutnya aspek isu nengenai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) termasuk bagian dari urutan perioritas untuk tujuan investasi perusahaan, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Artinya, etika bisnis yang terfokus pada pedoman perilaku pihak secara internalisasi perusahaan, sedangkan CSR yang terfokus pada konstribusi sosial secara positif diberikan perusahaan terhadap pihak eksternal (manfaat sosial bagi kesejahteraan serta kenyamanan para konsumen atau masyarakat sekitarnya).
Maka pengertian pertama mengenai social marketing menurut Kotler dan Roberto (1989:24), yaitu mendefinisikan bahwa, Social Marketing is strategy for changing behaviour. It combine the best elements of tradisional approach to social change in an integrated planning and action framework and utilizes advance in communication technology and marketing skills. Artinya, pemasaran sosial merupakan strategi untuk mengubah prilaku melalui kombinasi elemen-elemen yang terbaik melalui pendekatan tradisional untuk perubahan sosial yang tersusun dalam perencanaan dan kerangka kegiatan secara terintegrasi dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan dukungan kemampuan pihak pemasaran sosial.
Sedangkan pengertian yang kedua, mengenai societal marketing yaitu merupakan konsep pemasaran kesejahteraan sosial melalui pendekatan tiga unsur dengan kebijakan pemasaran, dengan unsur-unsurnya adalah; (1) memperhatikan profit usaha, (2) memenuhi keinginan dan kepuasan bagi konsumen, serta (3) unsur yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sosial (society and human welfare). Paling tidak, baik konsep social marketing maupun societal marketing yang lebih dahulu diluncurkan (tahun 1970-an) yang berkaitan dengan kepedulian perusahaan terhadap masalah-masalah perubahan perilaku kehidupan sosial dan hingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, dan kemudian pada tahun 1980-an dikembangkan menjadi cikal bakal konsep pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) di beberapa perusahaan besar yang mulai memperhatikan mengenai dampak negatif sebagai akibat eksploitasi dari bisnisnya yang secara serius terhadap lingkungan kehidupan sosial-masyarakat, yaitu melalui program pengembangan atau pemberdayaan komuniti, kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan, dan hingga sistem kemitraan pengelolaan lingkungan hidup masyarakat serta mampu menjaga melestarikan alam sekitarnya.
Terkait dengan konsep pengertian CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) tersebut, ada baiknya untuk melihat kebelakang perkembangan sejarah awal pelaksanaan CSR tersebut pada tahun 1970-an, yaitu pertama kali pihak pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan UU Lingkungan Hidup untuk mencegah atau mengendalikan pencemaran polusi udara terhadap kalangan perusahaan manufaktur, dan industri otomotif yang harus memenuhi standar pengolahan emisi gas buang. Disamping itu perusahaan-perusahaan di AS digugah komitmennya untuk tetap bertanggung jawab atau kepeduliannya terhadap peningkatan kesejahteraan sosial dan hingga mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kemudian pada tahun yang sama telah dijelaskan sebelumnya tersebut diatas, yaitu berkembang suatu konsep pemasaran yang terkait dengan societal marketing (pemasaran kesejahteraan sosial) yang menjadi konsep dasar dari implementasi program CSR yang dibangun dan dilaksanakan oleh perusahaan, disamping itu sebagai usaha bisnis bertujuan pencarian laba (profits), dan aspek lainnya upaya meningkatkan kepuasan konsumen (consumer satisfaction) serta tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan sosial (human welfare). Termasuk melakukan kegiatan pelaksanaan dari program CSR yang pada awalnya dimulai dengan pihak perusahaan mengkampanyekan melalui penekanan tema atau isu-isu penghijauan (green issues campaign).
Termasuk kepedulian tanggung jawab sosial yang telah dilaksanakan oleh setiap perusahaan, baik dikelola BUMN, swasta nasional maupun internasional, pemerintah dan hingga masyarakat umum perlu dimotivasi untuk meningkatkan kesadarannya mengenai isu ancaman perubahan iklim (climate change) dari akibat peningkatan pemanasan global (global warming) yang kini tengah populer, merupakan masalah yang lebih mendasar untuk diperhatikan seluruh komunitas internasional atau bahkan berdampak luas jika dibandingkan dengan isu-isu masalah kelestarian lingkungan kehidupan dan alam sekitarnya. Tepatnya pada 12 Oktober 2007, yaitu Komite Nobel, di Oslo Norwegia secara resmi menyatakan bahwa mantan Wapres AS di era pemerintahan Bill Clinton (1993-2001), Al Gore dan Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC (Panel Antar-Pemerintahan PBB soal perubahan iklim) sebagai pencetus isu yang efektif mengenai kepedulian masyakat dunia terhadap perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya peningkatan pemanasan global atau global warming, dinyatakan sebagai peraih hadiah “Nobel Perdamaian 2007.” Disamping itu, Al Gore juga menerima Academy Award untuk pembuatan film dokumenter terbaik 2007, yang bertemakan An Inconvenient Truth-AIT (1976) dan sebelumnya, buku yang ditulis Gore yang berjudul sama (AIT) tentang krisis iklim atau dampak buruk dari pemanasan global tersebut juga memperoleh penghargaan secara positif oleh para pembaca dan kritikus yang merupakan sebagai media komunikasi utama untuk menciptakan kesadaran komunitas global dalam mengatasi ancaman dari global warming.
Albert Arnold Gore yang berperan sebagai walk the talk tanpa lelah selama 20 tahun, atau penceramah yang handal, menarik perhatian dan komunikatif, tidak hanya sering berceramah melalui berbagai seminar baik di selenggarakan forum nasional maupun internasional, menulis buku dan hingga pembuatan film yang bertema pemasaran tanggung jawab sosial, khususnya upaya membangkitkan perhatian warga planet bumi mengenai akan terjadinya bahaya ancaman perubahan iklim (climate change) sebagai akibat pemanasan global (global warming), termasuk memimpin suatu kelembagaan Generation Investment Management, sebuah institusi yang mefokuskan kegiatan kepedulian untuk mengelola investasi sosial yang bertujuan terhadap investasi tanggung jawab sosial (Socially Responsibility Investment - SRI). Selanjutnya, Gore mendorong perlunya terdapat keseimbangan prilaku radikal antara dunia industri manufaktur, otomotif, pembangkit tenaga listrik dan penggunaan bahan bakar minyak asal fosil, pembakaran hutan tropis lain sebagainya, termasuk penggunaan AC (pengatur suhu ruangan) serta gas semprot (aerosol) yang berlebihan untuk keperluan kosmetika dan obat nyamuk yang selama ini selalu menghasilkan emisi gas buang berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O), gas-gas hidrofluorokarbon (HFCS) dan Sulfurheksafluorida (SF6) yang disinyalir telah terpapar ke udara lepas dengan melebihi ambang batas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca (green house effect) yang tinggi terhadap ancaman kebocoran ozon dan terjadinya perubahan iklim kian memanas secara global (global warming), yaitu pemerintahan baik negara-negara maju maupun berkembang disamping dalam menghadapi tingginya harga bahan bakar minyak (BBM), dan berupaya mencari bahan bakar alternatif melalui penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan untuk mengurangi terjadinya efek tekanan pemanasan global, dan hingga perusahaan-perusahaan yang berusaha meningkatkan kepedulian tanggung jawab sosial serta lingkungannya.
Termasuk isu pemanasan global yang kini menjadi pusat perhatian pembicaraan dunia, yaitu salah satu kegiatan dari penyelenggaraan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC), di Nusa Dua, Bali pada 3-14 Desember 2007 yang diikuti sebagian besar peserta dari negara-negara berkembang dan maju yang berkumpul membicarakan ancaman perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya global warming. Pertemuan UNFCC di Bali tersebut bersepakat untuk melancarkan negosiasi untuk pembentukan traktat baru setelah Protokol Kyoto yang masa berlakunya berakhir hingga 2012 mendatang. Kemudian, pada pertengahan Juli 2008 diselenggarakan lagi pertemuan para pemimpin negara-negara maju atau Group 8 (G8) dan pemimpin Negara-negara berkembang (D8) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), Toyako Jepang yang berakhir gagal untuk menetapkan pengurangan emisi gas karbon mencapai 50 persen hingga tahun 2050 sebagai penyebab munculnya global warming. Ada rencana bahwa kebuntuan atas kesepakatan pengurangan emisi gas buang karbon dioksisa antara pemimpin G8 dan D8 tersebut akan dilanjutkan perundingannya untuk mengganti traktat Protokol Kyoto pada tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark.

A. Konsep Social Marketing
Terminologi mengenai Social Marketing (pemasaran sosial) yang muncul pertama kali tahun 1971, merupakan suatu konsep dan strategi program public relations untuk mengubah prilaku, kebiasaan dan kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Khususnya pada kasus-kasus kampanye bertemakan isu tentang perubahan sosial, seperti di Amerika pada tahun 1721, Cotton Mather (Kotler.1989:5), yang berupaya menyakinkan warga Boston untuk berpartisipasi aktif ikut melakukan penyuntikan massal sebagai upaya pemerintah dalam pencegahan penyakit yang menular, seperti cacar. Masa kini, baik yang telah dilakukan di negara-negara maju maupun di negara berkembang yang lebih difokuskan terhadap aspek perubahan sosial, yaitu melakukan kampanye yang berkaitan dengan tema atau isu-isu sosial, yaitu:
a Sistem kesehatan masyarakat, seperti kampanye anti merokok, pencegahan penyalah-gunakan obat-obatan terlarang atau anti minuman alkohol, dan pencegahan penyakit HIV/AIDS. Termasuk program peningkatan kesehatan, gizi makanan, dan ketahanan fisik masyarakat dalam jangka panjang.
b. Sistem pelestarian lingkungan alam dan kehidupan sosial masyarakat, seperti program kampanye penghematan air bersih, langit biru, dan perlindungan kehidupan masyarakat dari polusi pencemaran udara.
c· Sistem pendidikan, seperti pemberantasan buta huruf dan melaksanakan wajib belajar 9 tahun, serta program pendidikan berdasarkan kompetensi sekolah yang berada dilingkungan masyarakat sekitarnya.
d· Sistem hukum, seperti melaksanakan Kadarkum (kampanye kesadaran hukum) dalam kehidupan masyarakat yang berpedoman sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku.
e· Sistem politik, seperti kebebasan untuk mengekspresikan pendapat (opini), dan kebebasan pers dalam sistem pemerintah yang demokratis dan terbuka.
f· Sistem ekonomi, seperti hubungan industrial yang harmonis, hubungan kemitraan pengusaha dan ketenaga-kerjaan, pelatihan kerja, iklim kepastian hukum untuk menarik minat investor asing yang masuk.

1. Produk Pemasaran Sosial
Produk pemasaran sosial, menurut Kotler dan Robert (1989:25) yang dipasarkan dalam model pemasaran sosial yaitu konsep program yang pertama, adalah ide sosial (social ide) yang terkait dengan nilai-nilai (value), kepercayaan (belief), dan sikap tindak (attitude) sebagai bentuk norma-norma yang berlaku di masyarakat yang dapat mempengaruhi oleh pandangan nilai-nilai atau prilaku tertentu di masyarakat.
Kedua, praktik sosial (social practice) yang terkait dengan suatu tindakan tertentu (act) dan prilaku (behavior) masyarakat (lihat gambar dibawah. konsep Produk Pamasaran sosial), seperti peran serta masyarakat yang didorong untuk berkampanye aktif menggunakan produk dalam negeri, melaksanakan program KB (keluarga berencana), program imunisasi polio nasional (PIN) dan hingga melaksanakan kampanye berhenti merokok.

Konsep Produk Pemasaran Sosial (Social Marketing)


Dan terakhir ketiga, suatu objek nyata (tangible object) yang merupakan produk fisik dari produk pemasaran sosial, seperti alat kontrasepsi atau pencegahan kehamilan, yaitu sebagai alat bantu yang secara fisik adalah nyata (tangible object) sebagai upaya pemerintah untuk menyukseskan program KB secara nasional dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.

2. Tantangan Pemasaran Sosial dan Kampanye Perubahan Sosial
Berdasarkan analasis dari kampanye perubahan sosial dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keberhasilan atau kegagalan (Kotler.1989:17-18), yang kini secara khusus terdapat elemen-elemen alasan pokok terhadap kampanye perubahan sosial, yaitu melalui:

1).Cause, (alasan): Suatu tujuan agen perubahan sosial yang dipercaya untuk menjawab permasalahan sosial yang ada.
2) Change Agent, (Agen perubahan): Merupakan kegiatan secara individual, organisasi atau
aliansi yang mencoba membawa isu atau tema tentang perubahan sosial yang terkait dengan kampanye perubahan sosial.
3) Target Adopters (Pemakai sasaran): Baik secara individual, maupun kelompok atau
populasi yang menjadi target sasaran dari pemasaran perubahan sosial (social marketer).
4) Channels (Saluran): Merupakan saluran komunikasi melalui distribusi yang dapat
mempengaruhi serta reaksi tanggapan terhadap perubahan yang ditransmisikan secara bolak-balik antara agen perubahan dan pihak pemakai sasaran (target adopter).
5) Change Strategy (Strategi perubahan): Merupakan strategi tujuan dan program jangka
panjang yang telah disetujui oleh agen perubahan untuk dapat memberikan efek perubahan dari prilaku atau sikap penerima sasaran.

Terdapat beberapa isu-isu dan alasan-alasan (issues and causes) yang mungkin dapat menarik perhatian bagi kegiatan sosial, misalnya beberapa alasan untuk memperbaiki suatu permasalahan sosial yang lebih positif, seperti masalah penyalagunaan obat-obatan terlarang atau terjadinya polusi lingkungan hidup, pemberian hak kelompok perempuan dan minoritas atau upaya mereformasi lembaga sosial, dan termasuk sektor kehidupan bidang pendidikan serta kesejahteraan bagi ketenagakerjaan.
Setiap alasan (cause) masalah sosial, biasanya mempunyai tujuan sosial tertentu yang ingin dicapai, dan tujuan tersebut akan melibatkan pencapaian perubahan-perubahan positif dari pandangan, tindakan atau prilaku sosial masyarakat. Pada tingkat kesulitan yang beragam, perubahan sosial yang termasuk perubahan melalui cognitive (pengetahuan), action (tindakan), behaviour (prilaku) dan nilai-nilai (values) yang selama ini yang telah dianut kuat oleh masyarakat.
Banyak kampanye perubahan sosial yang memiliki tujuan terbatas pada upaya melengkapi informasi terkini di masyarakat dan upaya meningkatkan kesadaran publik terhadap tujuan yang diinginkan dengan mengarahkan pada perubahan pengetahuan dalam dirinya. Kampanye yang berorientasi pada tindakan sosial tertentu yang dilakukan tersebut, tidak hanya dengan memberikan informasi secara efektif pada khalayak pemakai atau target adopter, tetapi juga dapat menggunakan cara-cara tindakan khas (metodologi) mengenai perubahan-perubahan sosial dan dengan biaya yang dibutuhkan lebih besar.

Perubahan Sosial Melalui 4 Pertanyaan & Tujuan Perubahan Sosial


Tujuan program perubahan sosial yang tersusun dalam perencanaan dan pelaksanaan kampanye sosial adalah untuk mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, atau ingin mengubah tingkah laku demi kebaikan hidupnya, misalnya kampanye tentang kesadaran peningkatan gizi makanan sehari-hari, bagaimana menghindari tertularnya virus HIV/AIDS atau tindakan preventif dalam menyalagunakan obat-obatan terlarang, manfaat belajar di perguruan tinggi bagi kalangan generasi muda, berhenti merokok, mengurangi konsumsi minuman beralkohol dan termasuk mengubah kebiasaan makanan yang berlebihan untuk menghindari kegemukan (obesitas) yang dapat mengundang berbagai penyakit. Perubahan tingkah laku atau kebiasaan seseorang tersebut paling sulit untuk dicapai pelaksanaannya, yaitu masyarakat perlu didorong untuk berhenti pada kebiasaan lamanya, dan dimotivasi dalam upaya mempelajari mengenai kebiasaan kehidupan yang sehat serta menjaga pola tingkah laku di masa mendatang secara lebih positif melalui pesan-pesan komunikasi yang tipikal untuk membawa perubahan-perubahan tingkah laku baik individual maupun secara sosial.
Pihak agen perubahan sosial dapat memilih menggunakan hukum dan sanksi secara legal untuk diperkenalkan prilaku dan nilai-nilai yang baru yang telah dapat diterima (adopsi) oleh masyarakat secara suka rela. Setelah itu, pembenaran sanksi hukuman yang dapat diterapkan untuk menciptakan perubahan dalam tingkah laku dan nilai-nilai sosial yang diakui masyarakat, maka dengan begitu terlihat bahwa sanksi hukuman sebagai penyebab terjadinya perubahan sosial-masyarakat.

3. Kelompok Adopter (khalayak penerima)
Secara efektif kampanye perubahan sosial tersebut dapat berhasil baik jika mendapatkan dukungan penuh dari seluruh komponen, kalangan masyarakat umum, organisasi kemasyarakatan, pelaku bisnis, dan hingga pejabat pemerintah. Seperti contoh, pemerintah Swedia telah berhasil membangun negara dan masyarakatnya sebagai bangsa yang anti merokok. Program kampanye anti merokok tersebut telah dilaksanakan secara intensif dan efektif selain melalui jalur pendidikan sekolah, klinik keluarga, iklan dan promosi progresif mengenai pembatasan merokok, dan disamping itu dengan menaikan cukai rokok yang sangat tinggi, termasuk pelarangan merokok di berbagai tempat umum secara konsisten dan menyeluruh sehingga mampu baik secara individual maupun kelompok atau organisasi untuk menghentikan kebiasaan merokok secara total dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Swedia.
Termasuk berita terkini, masyarakat Paris (Harian Koran Tempo, Edisi 3/01/08), Pemerintah Perancis mengeluarkan larangan keras untuk merokok di dalam kafe dan restoran. Larangan merokok tersebut diberlakukan pada awal tahun 2008, dan barang siapa seseorang yang kedapatan menyalakan atau sedang merokok akan dikenakan sanksi dengan denda sebesar US$ 93 (Rp. 837.000,-). Sementara itu, pemilik restoran dan kafe yang membiarkan para pelanggannya menyalakan rokok di resto pusat jajanan makanan dan minuman tersebut, hal yang sama akan dikenakan sanksi denda cukup tinggi, sebesar US $ 198 (1.782.000,-).
Larangan merokok tersebut disambut dengan pro-kontra para pelanggan restoran dan kafe, maka dengan adanya larangan keras merokok tersebut, pemerintah Perancis ikut bergabung dengan negara-negara Eropa lainnya yang terlebih dulu menerapkan aturan melarang merokok secara efektif dan normatif di pusat resto jajanan makanan/minuman dan hiburan publik di berbagai sudut kota Perancis.
Tampaknya Indonesia perlu mencontoh kasus cara unik pemerintah Edinburg, Skotlandia yang membujuk warganya untuk berhenti merokok secara efektif (Harian Media Indonesia, Edisi 23/06/08), yaitu mampu mendorong atau memotivasi agar masyarakat miskin tidak merokok melalui kampanye Dinas Kesehatan di Dundee, Skotlandia dengan memberikan iming-iming hadiah senilai US $ 25 (Rp 220.000) semacam BLT-nya (bantuan tunai langsung) setiap minggu bagi warga miskin untuk dimanfaatkan membeli makanan yang lebih sehat.
Tetapi ada persyaratannya, mereka harus diwajibkan total berhenti merokok untuk memperoleh hadiah tersebut,
dan memastikannya patuh yang bersangkutan terlebih dahulu menjalani suatu test permeriksaan kesehatan mingguan di kantor dinas kesehatan setempat untuk menyakinkan agar tidak kambuh lagi kecanduan terhadap kebiasaan merokoknya. Kebijakan pemerintah Skotlandia tersebut mendapat dukungan penuh dari kelompok kampanye anti merokok, selain manfaat dari bantuan uang BLT itu sangat diharapkan ditengah harga-harga barang kebutuhan pokok yang kini kian mahal bagi, dan termasuk mampu mendorong untuk menghentikan kebiasaan merokok bagi warga miskin negara setempat.
Pihak pemasaran sosial (social marketing) yang sama dengan konsep dan pelaksanaan pemasaran pada umumnya yaitu memerlukan pengetahuan mengenai setiap kelompok pemakai sasaran (target adopter), yang biasanya memiliki nilai kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai atau norma-norma yang dianut masing-masing kelompok khalayak akan saling berbeda, maka program dan pemasaran sosial (social marketer) akan merancang dan menstrukturisasi atau penyesuaian mengenai kebutuhan dari setiap masing-masing segmen populasi target secara tepat melalui tiga faktor agar lebih dapat akurat untuk memprediksinya, yaitu antara lain:
1).Sociodemographic characterstics, karakteristik sosiodemografis, seperti atribut penampilan dari setiap tingkat sosial, pendapatan, pendidikan, usia, ukuran keluarga dan lain sebagainya
2) Psychological profile, profil psikologikal, merupakan atribut internal psikologis
seseorang, sikap, nilai-nilai, motivasi dan pandangan dari personalitas tertentu.
3) Behavioral characteristics, karakteristik prilaku seseorang, merupakan bentuk pola
tingkah laku, kebiasaan membeli sesuatu, dan hingga karakteristik prilaku untuk membuat suatu keputusan.

Langkah selanjutnya pihak pemasaran sosial (social marketer), menurut Kotler dan Roberto (1989:44), yaitu harus mampu memutuskan bagaimana mengalokasikan anggaran pada beberapa perangkat (tools) dalam bauran pemasaran sosial (social marketing mix), yang dapat dipergunakan oleh organisasi secara objektif untuk mencapai segmen dari target adopter dari satu ke khalayak target lainnya, yaitu perangkatnya yang dikenal dengan ‘the four Ps’ atau unsur-unsur bauran 4-P, yaitu:

a. Product, yaitu produk yang ditawarkan kepada target adopter-nya berbentuk pelayanan, kualitas, features, option, style, brand name, kemasan, ukurannya dan hingga jaminan atau pengembaliannya.

  1. Price, harga yang harus dibayar yaitu daftar harga, rabat, jangka pembayaran dan termasuk hal yang tidak dapat diuangkan seperti waktu, usaha serta ketegangan.
  2. Place, tempat dimana produk sosial dikirimkan dan termasuk distribusi-outlet, saluran untuk pengiriman, baik sektor pemerintah maupun swasta, lokasi, gudang serta transfortasi yang dipergunakan.
  3. Promotion, yaitu mempromosikan produk sosial melalui saluran komunikasi periklanan, penjualan personal atau langsung, promosi penjualan, dan hingga kegiatan publisitas dari public relations.

Selain itu social marketer dalam kaitan kegiatan pelayanan melalui 4-P tersebut diatas yaitu dengan menambah lagi unsur bauran 3-P lainnya:

  • Personnel, pihak menjual dan mengirimkan produk sosial ke target adopters.
  • Presentation, suatu penjelasan mengenai persiapan dan memperkenalkan produk sosial ke khalayak penerimanya
  • Process, langkah-langkah yang diperlukan khalayak penerimanya untuk memperoleh produk sosialnya yang prosesnya lebih mudah.

Kelompok-kelompok pemakai penerima (target adopter), menurut Kotler dan Roberto (1989) yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu:
Kelompok memberikan jaminan perizinan (permission granting group)
Suatu lembaga/institusi pengatur perizinan dan berwewenang secara hukum dan administratif diperlukan mendistribusikan program pemasaran social.
a
. Kelompok pendukung (support group)
Partisipasi tenaga para medis yang mendukung pelayanan dan distribusi program kesehatan masyarakat atau pelayanan KB di berbagai poliklinik.
b. Kelompok Evaluasi (evaluation group)
Komite legislatif yang memberikan penilaian, apakah program sosial tersebut berpengaruh atau tidak terhadap perubahan kehidupan sosial masyarakat. Program pemasaran sosial secara efektif yang memerlukan pengetahuan karakteristik tiap kelompok yang berpengaruh dan dapat memenuhi keinginannya dengan tepat.
c.Teknologi Manajemen Perubahan Sosial (social-change management technology).
Pihak pemasaran sosial harus mampu melakukan teknis penyesuaian ketika menghadapi hambatan secara faktual dalam wilayah pemasarannya, yang berkaitan dengan tujuan, pemanfaatan situasi, anggaran, waktu dan personel.
Mendefinisikan Pengiriman Produk (defining the product market fit)
Keberhasilan pemasaran sosial adalah menciptakan suatu produk sosial yang baru dengan mengantisipasi kebutuhan yang memuaskan dan dapat diterima oleh khalayak penerimanya.
Merancang Pemasaran Produk Sosial (designing social product), dan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan pihak pemasaran sosial, yaitu:

  1. Menerjemahkan pemasaran produk sosial dengan mengkaitkannya pada penempatan gagasan atau praktik sosial.
  2. Melengkapi dan menguatkan pernyataan penempatan produk sosial.
  3. Mengembangkan dan menciptakan citra, memiliki pengaruh terhadap perubahan sosial kearah yang lebih baik.
d. Memasarkan ke Target penerima (delivering the product-market)
Pemasaran sosial diharapkan lebih mampu untuk mempresentasikan suatu perubahan sosial dan membangkitkan minat khalayak penerimanya, melalui:
  1. Kampanye yang memerlukan presentasi, misalnya penggunaan alat pengaman dalam mengemudi kendaraan bermotor, dan hingga cara-cara penggunaan alat-alat pencegahan kehamilan atau IUD-KB.
  2. Kampanye tidak memerlukan presentasi, misalnya melaksanakan hak-hak asasi manusia, hingga memperjuangkan hak-hak normatif pekerja.
B. Konsep Societal Marketing
Konsep pemasaran kesejahteraan sosial (societal marketing) yang diperkenalkam tahun 1970-an tersebut, dan pada prinsipnya dibangun diatas pilar, yaitu unsur laba (profit), kepuasan konsumen (consumer satisfaction) dan tanggung jawab mensejahaterakan sosial-masyarakat (society and human welfare). Pada awalnya, satu sisi setiap keputusan perusahaan hanya berdasarkan upaya usaha jangka pendek dalam pemasaran untuk memaksimalkan perolehan laba (profit orinted)
.

3-Consideration Underlying the Societal Marketing Concept


Selanjutnya pada sisi lainnya kebijaksanaan pimpinan perusahaan dalam kegiatan usaha jangka panjang mulai memperhatikan keseimbangan untuk memuaskan keinginan konsumen atau pelanggannya, dan termasuk faktor peningkatan kesejahteraan sosial dalam pengambil keputusan strategis bisnis perusahaan. Kemudian pelaksanaan konsep societal marketing dapat dipercaya mampu meningkatkan reputasi dan citra perusahaan (corporate image and reputation), termasuk menaikan publisitas atau pengenalan merek (brand knowledge), mampu meningkatkan kesetiaan pelanggannya (customer loyality), dan sekaligus memperluaskan pemasaran yang dikaitkan dengan menjalankan usahanya dengan memiliki program tanggung jawab dan kepedulian sosial sebagai upaya memperhatikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan konsumen pada khususnya. Lihat gambar tiga keseimbangan unsur dalam societal marketing concept.

1. Pengertian Societal Marketing (Pemasaran Kesejahteraan Sosial)
Menurut Kotler dan Armstrong (1994:692) yang mendefinisikan bahwa: Societal marketing concept is the idea that the organization should determine the needs, wants, and interests of target markets and deliver the desires satisfactions more effectively and efficiently than competitors in away that maintains or improves the cosumer’s and society’s well-being. Artinya, konsep pemasaran kesejahteraan sosial yang menegaskan bahwa organisasi atau perusahaan adalah dapat menentukan kebutuhan, serta minat dari target pemasaran, dan hingga memberikan kepuasan diinginkan konsumen secara lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaingnya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau konsumennya.
Konsep mutakhir dalam pelaksanaan dari Social Marketing PR dan termasuk Societal Marketing yang menyatakan kewajiban perusahaan adalah memadukan secara integratif konsep dari pemasaran murni (Marketing mix; product, price, place and promotion) dengan pemasaran kesejahteraan sosial (society, company and consumer) kedalam bentuk penerapan dari falsafah, visi, misi dan tujuan perusahaan serta kepeduliannya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan atau memiliki tanggung jawab sosial perusahaan. Konsep pemasaran sosial tersebut, disamping untuk menghindarkan konflik yang mungkin dapat terjadi antar kedua belah pihak, dan hal lain pihak perusahaan berupaya meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan hak-hak masyarakat sebagai konsumennya.
Maka perumusan pelaksanaan kegiatan pemasaran sosial PR tersebut harus memperhatikan unsur-unsur, sebagai berikut:
  1. Profit yang diperoleh perusahaan yang bertujuan untuk menjalankan operasional bisnis yang berkelanjutan.
  2. Pemuasan keinginan konsumen atau pelanggannya dalam jangka panjang
  3. Produk yang dihasilkan berkaitan dengan manfaat bersama, dapat diterima sepenuhnya dan memiliki nilai tanggung jawab sosial.
  4. Memiliki tanggung jawab sosial perusahaan, dan mampu mensejahterakan, kemakmuran bagi masyarakat seklilingnya.
Sebagai contoh, pihak perusahaan dengan memperhatikan "unsur-unsur konflik" dalam konsep pemasaran kesejahteraan masyarakat, yang terkaitkan dengan kebijaksanaan suatu pemasaran melalui keseimbangan dari ketiga unsur yaitu; pertama; company profit (profit perusahaan), kedua: consumer satispaction (kepuasan konsumen), dan ketiga; society’s interest (kesejahteraan sosial).

Pada konsep awal pemasarannya, hampir setiap perusahaan selalu berdasarkan pertimbangan hanya memaksimalkan laba dalam jangka pendek, tetapi sekarang dalam jangka panjang mulai memperhatikan kesejahteraan masyarakat atau berkeinginan untuk memuaskan konsumennya. Misalnya, industri perusahaan layanan paket makanan saji cepat (fast food) tidak hanya menawarkan makanan populer yang enak, cepat, bersih dan dengan harga yang terjangkau serta mampu memuaskan konsumennya, tetapi disamping itu terdapat efek negatifnya jika menjadi pola menu makanan secara tetap akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumennya, tetapi terdapat resiko tingginya kandungan unsur garam, lemak, penyedap makanan dan zat pengawet yang cukup tinggi dalam kandung fast food tersebut dapat menyebabkan kegemukan dan meningkatkan kolesterol tinggi serta gejala penyakit jantung atau pemicu penyakit darah tinggi. Termasuk bahan pembungkus makanan dan minumannya yang terbuat dari bahan-bahan plastik atau seterofoam yang sulit terurai dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan alam.

2. Konflik Sosial dan Kasus Pemasaran Sosial
Kasus perusahaan resto jasa makanan cepat saji tersebut diatas dapat menimbulkan konflik sosial jika dilihat dari pandangan atau konsep societal marketing, yaitu dalam konsep pemasaran jangka pendek hanya memperhatikan keuntungan sebesar-besarnya, dan seharusnya kini bisnis dalam jangka panjang perlu adanya kebijaksanaan dalam ‘aspek keseimbangan’ untuk mensejahterakan masyarakat dan konsumennya melalui kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam hal inilah, diharapkan kesadaran pihak perusahaan melakukan kampanye terhadap tanggung jawab sosial untuk mensejahterakan masyarakatnya, khususnya bagi pelanggannya dianjurkan dalam bentuk pesan komunikasi membujuk dan sekaligus mendidik melalui ‘spanduk atau banner’ yang terpasang dalam internal resto untuk memperingatkan konsumen tidak terlalu berlebihan mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food), dan kembalilah kemakanan alami yang lebih sehat serta aman bagi kesehatan masyarakat.
Kasus lainnya, salah satu perusahaan besar farmasi yang cukup lama berdiri di kawasan New Brunswick, New Yersey Amerika Serikat, yaitu perusahaan Johnson & Johnson sebagaimana yang diberitakan dalam Majalah Fortune, melakukan angket jajak pendapat pembaca tentang hampir semua masyarakat Amerika memuji dan publik masih tetap memiliki kepercayaan tinggi dan sebelumnya tahun 1982 dan 1986 pernah mengalami dua kali terjadi krisis, khususnya dalam pelaksanaan kegiatan komuniti dan tanggung jawab sosial terhadap para pelanggannya. Yaitu perusahaan Johnson & Johnson terpilih sebagai perusahaan yang telah melaksanakan societal marketing yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-masyarakat melalui pernyataan yang terkenal dengan komitmen dari mottonya berbunyi; “Our Credo” yang diterbitkan sejak tahun 1943 tersebut berisikan tentang pentingnya suatu kejujuran (honesty), integritas (integrity), tanggung jawab terhadap komunitinya (responsibility of the communities), good corporate citizenship (kewargaan perusahaan yang baik), and putting people before profits (kepedulian terhadap masyarakat tetap lebih baik dari sekedar untuk mencari keuntungan belaka) .
Sebelumnya perusahaan raksasa Amerika, bidang obat-obatan analgesik dan antibiotik Johnson & Johnson yang 35 % sahamnya dimiliki publik tersebut pernah mengalami terjadi dua kali kasus krisis, sedikitnya delapan konsumennya tewas setelah menelan kapsul analgesik Tylenol yang ketahuan terdapat mengandung unsur cyanide (sianida, racun yang mematikan) yaitu tujuh konsumennya tewas sebagaimana dilaporkan oleh berita Sun-Times di Chicago pada medio 1982. Berita yang mengejutkan tersebut menciptakan kekhawatiran bagi jutaan pelanggan atau pengguna Tylenol. Lalu kejadian selanjutnya, satu lagi seorang tewas di Yonkers, New York pada awal tahun 1986. “Tidak habis pikir, kok bisa dua kali kasus krisis yang sama terjadi, pada hal jaminan keamanan kemasan Extra-Strength Tylenol sudah maksimal.” Ujar keluhan
James E. Burke, Chairman of Johnson & Johnson Company.
Kemudian pihak perusahaan Johnson & Johnson melakukan aksi simpatik, dan langsung menarik produknya (recall product) secara serentak 31 juta lebih botol Tylenol senilai US$ 240 juta dengan segera setelah kejadian kasus menghebohkan dan misterius tersebut meledak dari berbagai outlet yang terdapat di supermarket dan toko obat lainnya di Amerika untuk diuji kembali oleh pihak tim penyidik dari federal (FBI). Untuk proses kampanye pemulihan kembali kepercayaan masyarakat, maka pihak Komite beranggotakan tujuh ahli yang dipimpin langsung oleh Direktur PR - McNeil sebagai Jubir Johnson & Johnson, yaitu tindakan pertama adalah menghentikan sementara semua tayangan iklan di berbagai media saluran komunikasi, termasuk menawarkan hadiah US$ 100.000 bagi siapa yang dapat mengungkapkan dalang kasus misterius tersebut, serta membuat kemasan kapsul lebih terjamin keamanannya, mengunjungi dan berbicara langsung dengan pihak keluarga korban serta termasuk mengganti semua kerugian dari korban yang tewas, mengganti langsung jika kemasannya terdapat kerusakan atau cacat pada tutup pengaman botol obat, membuka saluran telepon bebas pulsa, dan menyelenggarakan Program tanya jawab acara tentang kaplet atau kapsul Tylenol dipandu langsung pimpinan tertinggi perusahaan melalui saluran Investigative News 60-minutes, di CBS-TV, dan setelah itu secara aktif mengeluarkan komitmennya melalui mottonya “Our Credo” (kami tetap terpercaya) yang dimuat di berbagai iklan kolom komersial media massa cetak dan sebagai upaya memulihkan kepercayaan publiknya di Amerika Serikat.
Banyak manfaat yang diperoleh perusahaan dengan melaksanakan strategi societal marketing tersebut jika dibandingkan menggunakan pemasaran secara konvensional yang selama ini hanya berorientasi pada keuntungan materi semata, dan hanya dianggap mendorong masyarakat menjadi konsumerisme berserta implikasinya. Manfaat lainnya dari societal marketing atau pemasaran kesejahteraan sosial tersebut mampu mengembangkan konsep good corporate citizenship (menjadi warga perusahaan yang baik) dan keberadaannya ikut bertanggung jawab terhadap baik secara kualitas maupun kuantitas untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya pada umumnya dan konsumen pada khususnya. Selanjutnya dari konsep pemasaran kesejahteraan sosial (social marketing) tersebut muncul sebagai dasar kelanjutan konsep pengembangan program coporate social responsibility (CSR) sekarang ini atau bab-bab sebelumnya dalam buku ini sudah dibahas, yaitu disebut dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan, selain berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga mampu meningkatkan citra perusahaan secara signifikan.

3. Strategi Societal Marketing

Menurut Lantos (2001), yang dikutif oleh Majalah MIX (Edisi Nov-Des. 2004:18), yaitu strategi societal marketing dalam pelaksanaannya terdiri tiga jenis konsep atau alasan bagi pihak perusahaan untuk berpartisipasi dalam program CSR, yaitu sebagai berikut:
a. CSR Ethical
Menjadi kewajiban dan tanggung jawab perusahaan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku untuk menghindarkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup atau sosial masyarakat sebagai akibat dari dampak negatif dari aktivitas dari eksploitasi suatu perusahaan industri.
b. CSR Altruistic (philantropic)
Aktivitas sosial perusahaan untuk tujuan peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya, tanpa terkait langsung dengan kepentingan perusahaan yang bersangkutan. Misalnya, perusahaan mendirikan yayasan sosial untuk membantu beasiswa bagi pelajar hingga mahasiswa yang kurang mampu secara material atau ekonomi.
c. CSR Strategic
Aktivitas sosial perusahaan untuk tujuan strategi meningkatkan citra perusahaan melalui target pemasarannya. Misalnya, perusahaan Jamu Sido Muncul melalui program CSR-nya dan hingga kegiatan pengembangan komuniti (community development), yaitu ‘Pembinaan terhadap petani pemasok bahan baku jamu.’ Dalam hal strategi ini, pihak perusahaan sering mengeksekusinya, melalui kegiatan:
a. Cause promotion
Strategi promosi sambil memberikan konstribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatan kesadaran tentang kegiatan bantuan amal atau masalah-masalah sosial tertentu.
b. Cause-related marketing
Strategi pemasaran yang dikaitkan dengan konstribusi melalui prosentase tertentu sebagai donasi bantuan sosial, dalam periode dan dikaitkan dengan pemasaran merek produk tertentu
c. Corporate social marketing
Strategi kampanye pemasaran sosial melalui fokus perubahan perilaku sosial tertentu, misalnya mengajak anak-anak sekolah membiasakan menggosok gigi secara terartur dan minimal dua kali dalam sehari.

4. Branded Social Responsibility dan Citizen Brand
Konsep membangun tanggung jawab sosial merek (Branded Social Responsibility-BSR) atau sering disebut juga dengan istilah citizen brand, yaitu dapat disimpulkan bahwa pihak produsen berkeinginan untuk membangun suatu merek melalui kegiatan yang bertemakan tanggung jawab sosial dan sekaligus dapat diterima secara penuh oleh masyarakat konsumen atau sebagai pelanggannya. Dalam menjalankan suatu program CSR yang harus disesuaikan dengan business and brand mission, dan sekaligus mengusung social mission yang artinya untuk menerapkan program tanggung jawab sosial tersebut harus disesuaikan dengan misi dan tujuan merek suatu produk yang dikampanyekan dalam pemasarannya dan kalau tidak brand mission untuk mencapai citra branded CSR akan menjadi tidak efektif untuk mencapai tujuan atau bahkan perencanaan yang sia-sia, telah membuang waktu, tenaga dan investasi.

a. Aplikasi, Alasan Memilih dan Pengertian BSR dan CB
Seperti contoh suatu merek produk kosmetika terkenal The Body Shop dari Inggris, yaitu bermula ide kreatif dari almarhum Anita Roddick yang sekaligus sebagai pemiliknya dan selalu berkomitmen untuk mengusung kampanye yang bertemakan against animal testing. Artinya, Anita selalu menyuarakan kepedulian tanggung jawab sosial melalui pewujudan nilai-nilai kemanusiaan untuk tidak melukai makhluk hidup di muka bumi sebagai kelinci uji coba atas produk yang dikembangkan oleh The Body Shop tersebut, sehingga dikenal dengan suatu merek produk yang memiliki nilai-nilai falsafah kemanusiaan sebagai branded social responsibility (BSR) atau citizenship brand (CB), yakni menjadi nilai merek produk yang terkait dengan kepedulian tanggung jawab sosial dan nilai-nilai kebersamaan tersebut mampu membangun misi dan tujuan merek yang dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat dan para pelanggannya.
Kondisi untuk menciptakan suatu merek produk menjadi senilai BSR atau CB tersebut tidaklah mudah, dan harus melalui tahapan proses yang cukup panjang untuk menyakinkan masyarakat agar dapat menerima merek yang tidak hanya cukup sekedar ‘baik’ dihadapan para konsumen atau pelanggannya, tetapi juga mampu memberikan ‘manfaat bersama’ bagi lingkungan kehidupan sekitarnya, dan termasuk komitmennya terhadap kepedulian tanggung jawab sosial serta mensejahterakan masyarakat. Terkait dengan kemampuan pihak produsen untuk membangun suatu misi merek yang secara emosional sangat erat hubungannya terhadap dorongan menjadi pilihan utama bagi masyarakatnya. Artinya, bagaimana mewujudkan suatu merek yang memiliki hati, menarik perhatian dan memancarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berprilaku atau kegiatan sehari-hari secara positif untuk memotivasi masyarakat selalu menjaga kelestarian lingkungan alam, berdisiplin, menjaga kualitas kesehatan, kehidupan bermanfaat bagi sesama atau pola makanan/minuman yang sehat, dan membangun kemitraan dengan usaha masyarakat kecil.
b. Program BSR (Tanggung jawab sosial merek)
Program tanggung jawab sosial merek (BSR), menurut majalah Marketing, Edisi 11/VII (Nov. 2007:66-67), tidak selalu program BSR tersebut diterjemahkan dengan aktivitas yang serius atau formal, bahkan kegiatan amal bakti sosial melalui acara ajang khusus BSR secara informal (fun model) yang dapat dilakukan melalui:
  1. Memulai dengan membuat daftar kegiatan apa yang menarik untuk dilakasnakan dalam kegiatan BSR, terutama terkait dengan produk, dan jasa yang dipasarkan melalui brand marketing vision, mission and positioning.

  2. Lakukan pengukuran hasil kegiatan off air BSR, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

  3. Bila dilakukan dengan strategi yang tepat dan efektif, bisa memberikan efek publikasi yang lumayan populer hasilnya.

Selanjutnya melakukan beberapa kegiatan yang menjadi inspirasi dalam mejalankan progam BSR, yaitu melalui beberapa kegiatan baik secara formal maupun informal, yaitu:
a. Pemberian sumbangan, donasi, atau filantrofi
Merupakan bentuk paling sederhana dari aktivitas BSR (cause-related marketing) yaitu memberikan sumbangan, donasi dana, sandang dan pangan serta obat-obatan langsung ke para korban bencana alam sebagainya. Termasuk memberikan pinjaman lunak terhadap pengerajin dan pengusaha kecil, bantuan manajemen dan hingga pelatihan (technical service), sebagai contoh, yaitu Ford foundation, dan Sampoerna faoundation berhasil membangun citra nama positif yang peduli terhadap dunia pendidikan melalui pemberian beasiswa bagi mahasiswa dan pelajar untuk meneruskan pendidikannya lebih tinggi.
b. Membantu promosi lembaga non-profit
Termasuk bentuk cause promotion melalui promosi suatu produk yang dikemas dengan tanggung jawab sosial merek secara efektif memberikan sumbangan amal terhadap lembaga non-profit. Misalnya, kartu kredit Amex bekerja sama dengan para nasabahnya yang mendonasikan presentase tertentu untuk membantu ke berbagai kegiatan sosial pada lembaga non-profit
c. Membantu melalui kegiatan marketing
Hal ini merupakan bentuk konsep cause related marketing untuk menjalankan program pemasaran melalui prosentase dari nilai transaksi tertentu dalam menjalankan aktivitas sosialnya. Misalnya, American Airlines yang menyumbangkan point reward untuk keperluan donasi sumbangan sosialnya
d. Kampanye sosial
Kegiatan kampanye yang bertujuan untuk kegiatan kepedulian sosial, melalui iklan merek tertentu yang dikaitkan dengan kampanye sosial. Misalnya, jamu Sido Muncul yang memunculkan iklan tentang tema anti kekerasan terhadap pembantu rumah tangga.
e. Pengembangan komunitas
Kegiatan community development atau pengembangan komunitas tertentu untuk berupaya memperbaiki kondisi sosial atau peduli lingkungan, contoh kampanye menanam sejuta pohon untuk mengantisipasi pemanasan global dengan melibatkan partisipasi warga masyarakat.
f. Memperbaiki diri sendiri
Program BSR melakukan kampanye mengenai perbaikan mereknya telah berubah dan lebih peduli lingkungan sosial. Misalnya, suatu merek produk yang mengganti kemasannya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan atau berasal dari daur ulang limbah.
g. Penghargaan sponsorship
Merupakan bentuk award sponsoring (penghargaan sponsoship) terhadap merek-merek tertentu yang lebih peduli liungkungan atau tanggung jawab sosialnya untuk meningkatkan citra mereknya dimata kosumen dan masyarakat.

--------------- Be Continued ------------



DAFTAR PUSTAKA

Budimanta, Arif dkk
. 2004.Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
Cutlip, Scott M. and Allen H. Center. 1982. Effective Public Relations. New Yersey. Prentice-Hall, Inc.
EBAR (Economics Business & Accounting Review), Journal. 2006. Corporate Social Responsibility. Jakarta: FE-UI, Departemen Akutansi
Galang, Filantropi dan Masyarakat Madani. Journal. 2006. Edisi Vol. 2 No.1, Oktober.
Filantropi Media dan Bencana di Indonesia. Jakarta: Penerbit PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).
Galang, Bulletin. Edisi pertama tahun II.Febuari 2002 dan Edisi ke-4 tahun III September 2003. Jakarta: Penerbit PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).
Jahja, Rusfadia Saktiyanti & Irvan, Muhammad. 2006. Menilai Tanggung Jawab Sosial Televisi. Kota Depok : Piramedia
Kotler, Philip & Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause . New Jersey: Published by John Wiley & Sons, Inc.
Kotler, Philip & Armstrong, Gary. 1994 . Principles of Marketing. New Jersey: Prentice Hall, International Inc.
Marketing, Majalah. 2007. Edisi, November. No. 11/VII. Dari CSR ke Brand Social Responsibility. Jakarta: PT Info Cahaya Hero.
Mix, Majalah. 2004. Edisi, 10 November - 08 Desember. Societal Marketing. Jakarta: Kelompok Swa.
Prasetya Mulya, Forum Manajemen. 2008. Vol. Juli-Agustus. Jakarta: Penerbit Prasetya Mulya, Business School
Rubin, Herbert J. & Irene S. Rubin.1992. Community Organizing and Development. (SecondEdition). USA : Macmillan Publishing Company.
Rudito, Bambang. Adi Prasetijo dan Kusairi. 2003. Akses Peranserta Masyarakat, Lebih Jauh Memahami Community Development. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
Rudito, Bambang dan Arif Budiman. 2003. Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
Saidi, Zaim. 2003. Sumbangan Sosial Perusahaan. Jakarta: Penerbit Piramedia.
SWA, Majalah. 2005. Edisi 19 Sepetember . No. 26/XXI. Survey CSR 2005 Perusahaan Darmawan. Jakarta: Yayasan Sembada Swakarya.




GREEN MARKETING CONCEPT

Selasa, 16 Desember 2008

Karikatur Harian Merdeka: Meggambarkan udara yang tercermar berat akibat polusi industri di berbagai kota-kota besar di masa depan, dimana seorang anak bermain sepeda dengan masker pelindung pernapasan.

Aktivitas Perusahaan Peduli Lingkungan
(corporate environmentalism
)

Oleh Rosady Ruslan

Sejak digencarkannya kampanye ‘Hari Bumi’ atau disebut dengan Earth Day yang insiatifnya diluncurkan sejak 1970 dan diperingatkan setiap tanggal 12 April, dengan maksud agar penduduk di planet ini merasa lebih baik dan nyaman untuk berkehidupan dimuka bumi. Termasuk di Amerika Serikat (AS), dimulai tahun 1990 menjadi gerakan bersama ‘Earth Decade’ (peringatan dasawarsa hari bumi), yang ditandai menjadi suatu gebrakan kekuatan dunia baru yang peduli lingkungan dalam skala besar untuk mendidik masyarakat, pengusaha, kegiatan operasional industri, dan perusahaan-perusahaan di AS serta termasuk seluruh komunitas internasional yang mendukung gerakan masyarakat baru terhadap kepedulian lingkungan dan sebagai upaya mengantisipasi ancaman terjadinya polusi udara atau pencemaran terhadap lingkungan hidup, yang sekaligus untuk mengurangi dampak pemanasan global (global warming).
Gerakan kepedulian tersebut oleh Kotler & Amstrong (1994:676) disebut dengan istilah kampanye The new environmentalism and Green Marketing. Selanjutnya, pada Januari 1991 di New York menyelenggarakan suatu pertemuan puncak pamasaran hijau atau Green Marketing Summit yang diikuti peserta gabungan dari kalangan eksekutif perusahaan-perusahaan komersial dan non komersial, media massa, agency periklanan, serta LSM-Lingkungan (non government organization) lain sebagainya yang bertujuan membicarakan dan merumuskan sistem pemasaran lingkungan (marketing of enviromentalism) masa mendatang yang lebih diaplikasikan ke aktivitas pemasaran hijau (green marketing) mengenai kepedulian terhadap dampak lingkungan kehidupan sekitarnya. Klaim-klaim mengenai produk-produk ramah lingkungan yang dipasarkan tersebut tidak lagi terbatas pada komposisi atau karakteristik apa yang dihasilkan, tetapi juga memperhatikan bagaimana proses, mekanis dan teknis produksinya. Melalui proses dan teknis produksi barang yang dihasilkan tersebut kini diwajibkan lebih peduli terhadap lingkungan, efisien, menggunakan energi lebih sedikit dan hingga bahan pendukungnya dipakai akan menimalisasikan limbahnya dan bagaimana industri dapat didorong upaya penggunaan proses teknologi ramah lingkungan.
Secara strategis bahwa penerapan pemasaran hijau tersebut mampu menarik simpati masyarakat secara luas, dan bahkan persyaratan untuk izin operasional-produksi dan kemudahan memperoleh fasilitas kredit perbankan atau memperoleh keringanan pajak yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh pihak pemerintah yang kini lebih gencar untuk mengkampanyekan konsep dan pelaksanaan kebijakan dan peraturan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan). Pengertian kegiatan green marketing (pemasaran hijau) yang merupakan dinamika pasar dan termasuk perubahan orientasi prilaku konsumen lebih peduli lingkungan (green consumer) yang mendorong pihak pemasar (marketer) dengan cara-cara terbaru memasarkan produk melalui pendekatan tanggung jawab dan ramah lingkungan. Contohnya, pihak produsen makanan dianjurkan menggunakan kemasan atau wadah tempat minuman atau makanan secara kreatif dari hasil bahan-bahan yang dapat didaur ulang (recycling material), tetapi tetap aman terhadap kesehatan bagi konsumennya.
Khususnya program kampaye green marketing atau go green, yang kini sedang trendi menjadi suatu gerakan baru atau kegiatan pihak produsen dan perusahaan-perusahaan yang berkomitmen untuk mengembangkan pemasaran peduli lingkungan (green marketing) terhadap tanggung jawab lingkungan produk yang pendekatannya ramah lingkungan (go green), secara praktik perusahaan atau produsen tersebut yang telah menerapkan suatu konsep dari “Rs”, yaitu manajemen pengelolaan atau mendaur limbah sampah, khususnya bahan-bahan pembungkus, wadah dan hingga kemasan terbuat plastik atau styrofoam suatu produk makanan/minuman yaitu melalui proses kegiatan; reducing (mengurangi), reusing (menggunakan kembali), and recycling waste (mendaur ulang sampah). Pada prinsipnya pihak perusahaan industri turut serta berpartisipasi secara aktif melakukan tindakan pencegahan kerusakan, pencemaran atau terjadinya polusi terhadap lingkungan hidup melalui sistem tanggung jawab lingkungan perusahaan atau produknya (corporate enivironmental) yang mengedepankan dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan, dan bahan-bahan yang aman terhadap kesehatan manusia yaitu melalui pendekatan bermanfaat bersama, high value and high virtue (bernilai tinggi dan memiliki kebajikan tinggi).

Cukup banyak kini perusahaan memiliki program yang ambil bagian pelaksanaan kegiatan peduli lingkungan (go green), mulai dari perusahaan industri elektronik, misalnya General Electric dan Braun, perlengkapan olah raga seperti Nike dan Adidas, serta tidak ketinggalan industri otomotif yakni Toyota Motor Manufactur mengeluarkan produk mobil eco car dan Honda Civic Hybrid yang berlomba-lomba meluncurkan produk mobil dengan konsep yang menggunakan teknologi ramah lingkungan dan sekaligus irit bahan bakar atau memakai bahan bakar terbarukan (non-fosil). Tak heran jika Takeo Fukui, CEO Honda Motors mengatakan bahwa kita harus melakukan itu demi lingkungan, bukan untuk suatu kompetisi (We should do it for the environment, not for the competition). Termasuk dunia bisnis perbankan seperti Bank of America, dan produk layanan bank nasional BNI bertemakan lingkungan go green yang memadukan bisnis perbankan dengan berwawasan lingkungan, serta 3M meluncurkan program yang memiliki konsep a Pollution Prevention Pays (perhatiannya terhadap pencegahan polusi), banyak perusahaan lainnya baik secara diam-diam maupun terbuka aktif melaksanakan program peduli lingkungan. Misalnya McDonald’s restaurant dan minuman ringan Coca Cola di negara-negara maju yang sekarang mempopulerkan konsep ‘turned green’, yaitu selama ini menggunakan kemasan plastik (plastic bags) asal bahan cukup berbahaya terhadap kesehatan jika kemasan tersebut larut akibat menampung makanan/minuman yang panas, dan apalagi limbah plastik itu dibakar karena terbuat dari polymer akan menimbulkan asap yang bermasalah. Sekarang bahan kemasan plastik tersebut yang dianjurkan terbuat dari bahan kimia bersifat lebih ramah lingkungan (environmentally friendly) yaitu jenis terbuat dari nano komposit polymer, termasuk kertas tisu, dan hingga drink tray (wadah minuman) terbuat bahan-bahan yang diproduksi dari hasil mendaur ulang (recycle material) tetapi tetap aman.
Muncul suatu pertanyaan, mengapa perusahaan-perusahaan tersebut bersusah payah melaksanakan kegiatan peduli lingkungan (go green care)?. Bagaimana dengan motivasi pihak perusahaan secara sadar untuk melakukan kegiatan peduli lingkungan sebagai antisipasi terhadap perubahan iklim (global warming)?. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Bansal & Roth (2000) sebagai mana dikutip dari Handoko, Indria dalam Jurnal Forum Manajemen Prasetiya Mulya (Vol. II/No.6, Edisi Juli-Agustus 2008) , penelitian terhadap 53 perusahaan di Inggris dan Jepang, yaitu paling tidak terdapat 3 motivasi yang mendasari sistem tanggung jawab perusahaan peduli lingkungan (corporate enviromental) dan sekaligus mengantisipasi terhadap ancaman peningkatan perubahan iklim atau disebut dengan global warming, sebagai berikut:

a. Motivasi Persaingan
Persaingan dalam arti ini sebagai suatu potensi pihak tanggung jawab lingkungan perusahaan terhadap ekologis dan sekaligus upaya meningkatkan keuntungan jangka panjang, termasuk menerapkan manajemen pengelolaan teknologi energi alternatif yang ramah lingkungan dan daur limbah, serta menerapkan konsep ekolabel dengan melaksanakan green marketing (pemasaran hijau) atau ingin mengembangkan produk ramah lingkungan yang berkelanjutan. Persaingan tingkat harga yang terjadi kini dan kualitas yang dihadapi perusahaan akan mengalami pergeseran kearah persaingan isu-isu yang dapat memenuhi tanggung jawab terhadap kepedulian lingkungan.
Artinya, keunggulan dari tingkat persaingan diperoleh dengan pemenuhan suatu tanggung jawab lingkungan, dengan mengacu pada keterbatasan atau termasuk pengelolaan sumber daya alam, dan untuk itu dikembangkan potensi keuntungan dalam jangka panjang secara berkelanjutan, upaya mengembangkan produk berwawasan go green, meningkatkan reputasi perusahaan, efisiensi proses dan reliabilitas produksi. Pihak perusahaan yang memiliki motivasi persaingan model ini, lebih memperhatikan kepada analisis cost benefit dalam merespon ekologis atau dampak operasional perusahaan terhadap lingkungan, misalnya perusahaan penghasil bubur kertas (paper pulp), pada awalnya strategi jangka pendek hanya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tambah lagi banyak menggunakan campuran bahan kimia yang berbahaya dan beracun tersebut menjadi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan. Kini perusahaan kertas di Jepang berupaya melakukan suatu proses baru untuk efisiensinya dengan menggunakan kertas daur ulang dan teknologi ramah lingkungan untuk memenuhi produk-produk berasal dari lembaran kertas bagi kebutuhan konsumen bidang perkantoran, pusat perbelanjaan dan rumah tangga lain sebagainya.

b. Motivasi Legitimasi
Motivasi legitimasi ini mengacu kepada kegiatan operasional perusahaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, norma-norma dan nilai-nilai atau etika moral bisnis yang wajar berlaku di masyarakat. Misalnya, perusahaan mengembangkan kepatuhan pada peraturan pemantauan dan pelaporan, membentuk komite audit lingkungan, pengendalian resiko perseroan, pemenuhan standar operasional yang efektif, membangun jaringan komunikasi dengan komunitas setempat dan hingga memperhatikan dampak ekologisnya. Artinya, penekanan motivasi legitimasi tersebut dengan kelangsungan operasional perusahaan secara bekelanjutan, adanya program long-term sustainability, survival dan terdapat izin untuk beroperasi, dengan menerapkan prinsip, yaitu; zero waste, zero accident and zero breakdown artinya sama dengan menerapkan untuk menimalisasikan limbahnya, menurunkan angka kecelakaan kerja dan hingga mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan dalam proses produksi.
Berdasarkan pandangan model motivasi legitimasi ini, biasanya pihak perusahaan dalam melakukan kegiatan operasionalnya tentunya akan memutuskan suatu tindakan yang lebih etis atau sesuai dengan aturan main yang berlaku melalui prinsip-prinsip peranan demi kebaikan bersama atau ‘golden rule’, yang melaksanakan konsep menurut Jones, Garet R. ( buku, Organizational Theory, Prentice-Hall, Inc. 2001:151), yaitu the right action produce a greatest benefit for the most people. Secara umum, bahwa merupakan tindakan tepat yang dilakukan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip aturan main yang baik dengan memberikan manfaat besar terhadap masyarakatnya (stakeholder).

c. Motivasi Tanggung-jawab Ekologis
Merupakan aspek tanggung jawab lingkungan perusahaan (corporate environtmental), misalnya melalui pengolahan kembali lahan yang pernah dieksloitasi untuk pertambangan dan kemudian menjadi area hijau, memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan, pemakaian kemasan produk dengan kertas daur ulang dan termasuk pengelolaan sampah kertas-kertas di perkantoran dalam jumlah besar dapat dimanfaatkan kembali secara kreatif dan inovatif, yaitu secara ekologis yang bermaksud sebagai upaya kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan.

Kasus tanggung jawab ekologis, menurut Wibowo, Buddi (Majalah Manajemen Usahawan Indonesia, Edisi No. 06/Juni-2002:15) misalnya Philips Light Bulb Company, sebagai contoh perusahaan Philip yang berhasil menggunakan produk yang mengklaim ramah lingkungan karena komposisi yang dihasilkan tersebut hemat energi, yaitu produk light compact fluorescent yang hanya membutuhkan 40 watt arus listrik jika dibandingkan bolam pijar yang konvensional. Terdapat beberapa pilihan strategi untuk mengkapitalisasikan dengan meningkatnya permintaan masyarakat sebagai konsumen peduli terhadap produk hijau (green product) yang memiliki tanggung jawab terhadap ramah lingkungan, yaitu:
  1. Mampu menciptakan produk yang berkarater dan komposisi dengan memiliki dampak terhadap lingkungan yang lebih kecil.

  2. Meningkatkan penggunaan bahan mentah atau baku secara lebih efisien atau renewable (terbarukan). Misalnya, kertas tidak lagi dari bahan bubur kertas yang berasal dari kayu, diganti dengan bahan bambu dan tanaman alternatif lainnya lebih mudah dibudidayakan dan murah, dengan memiliki tostur serat yang lebih panjang dan halus. Artinya, konsep ini dapat menekan pengundulan hutan asri di berbagai daerah nusantara.

  3. Mengefisienkan penggunaan kemasan dan pemakaian bahan-bahan yang bersifat bio-degrabable atau konsep menimalisasikan kerusakan atau dapat dipergunakan secara berulang-ulang (reusing).

  4. Mengefisienkan pemakaian atau lebih hemat energi dalam proses dan teknis operasional selama berproduksi.

  5. Meningkatkan daya ketahanlamaan (durability) suatu produk yang dihasilkan, secara kreatif, inovatif, serta tetap memiliki daya tarik, aman dan ramah lingkungan.
Limbah Kemasan Plastik Mencemari Ekologi
Menurut PPTM-LIPI (Peneliti Pusat Teknologi Material-Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia), dalam suatu pertemuan internasional (Agustus 2008), yaitu International Conference on Advance and Sustainable Polymer, di Bandung (Kompas. 5/8/08) yang menyimpulkan bahwa produk dari berbagai bahan plastik telah mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2008, dan sekitar 952 ratus ton plastik yang banyak dipergunakan untuk kemasan keperluan rumah tangga, termasuk 80 persen plastik terbuat dari bahan limbah plastik berbahan kimia polymer secara ekologis berpotensi cukup berisiko, berbahaya terhadap kesehatan dan dapat mencemari lingkungan hidup.
Bahan kimia Polymer tersebut merupakan bahan utama pembuatan plastik, jika dipanaskan dibawah 800 derajat Celsius akan membentuk dioksin (racun) yang dapat memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati hingga gangguan sistem saraf tubuh manusia. Dalam konferensi internasional tersebut melalui penelitian teknologi terbaru bahwa unsur polymer pada komponen plastik tersebut dapat digantikan dengan unsur lebih ramah lingkungan, misalnya dari bahan kimia nano komposit polymer.

Kemudian menurut Lash, Jonathan and Wellington, dalam artikelnya berjudul; Competitive Advantage on a Warning Planet, (Journal Harvard Business Review, Maret 2007), yaitu menjabarkan 6 jenis resiko yang dapat mempengaruhi suatu perusahaan dalam mengantisipasi pemanasan global, yaitu:

1. Risiko Regulasi
Sebagai konsekuensi terhadap baik negara-negara maju maupun berkembang meratifikasi Protokol Kyoto berlaku hingga tahun 2012 tersebut, yang selanjutnya sebagaimana diamanatkan oleh forum United Nations Frame-work Climate Change Conference (UNFCCC) di Bali, Desember 2007, setiap negara yang telah meratifikasi protocol tersebut menerapkan regulasi dan peraturan bidang pengurangan emisi gas buang kendaraan bermotor dan berbagai industri yang ada sebagai upaya minimalisasikan efek gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warning), yaitu pemangkasan emisi gas karbon (CO2) dan gas beracun lainnya sampai dengan 50 persen pada tahun 2050 mendatang.
Antisipasi perusahaan terhadap regulasi protocol kyoto tersebut melalui system mekanisme pembangunan bersih (MPB) atau clean development mechanism dan sekaligus pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui, UU No. 17/2004 dan dikukuhkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No. 26/2005. Kemudian resiko regulasi tersebut akan mempengaruhi bagi pelaku bisnis untuk menata kembali konsep operasional produksi perusahaan sebagai upaya mengurangi gas buang emisinya, menggunakan energi alternatif atau terbarukan (renewable energy) dan teknologi lebih ramah lingkungan, termasuk meminimalisasikan limbahnya atau mengurangi pencemaran lingkungan.


2. Risiko Rantai Pemasok
Berkaitan dengan penilaian regulasi, yakni ketergantungan perusahaan terhadap jaringan pemasokan bahan baku, mulai dari perizinan, sertifikat produk dan beban biaya yang tinggi sehubungan dengan peraturan pengurangan emisi karbon. Misalnya pasokan bahan baku terbuat dari logam, besi, baja, kaca, aluminium, karet, plastik dan lain sebagainya tersebut memiliki resiko mengandung emisi karbon cukup tinggi untuk kebutuhan industri otomotif akan menghadapi kendala risiko regulasi pengurangan emisi karbon sesuai dengan ratifikasi Protokol Kyoto. Misalnya, termasuk perdagangan secara global pihak negara importir produk terbuat dari bahan alam, kayu lapis, rontan, furniture (perabotan rumah tangga) kulit atau bulu binatang, makanan dan minuman buah-buahan, ikan, udang lain sebagainya mau menerima kiriman barang produk ekspor tersebut berasal dari negara-negara berkembang harus memiliki sertifikat eco-labelling dan produk yang dihasilkan dari rekayasa budidaya di negara produsen.

3. Resiko Ligitasi
Resiko ligitasi ini, biasanya terkait dengan industri perusahaan rokok, farmasi, produk asbes termasuk produk yang menghasilkan emisi gas karbon yang cukup signifikan dan berpotensi menghadap kendala peraturan atau berpotensi menghadapi ancaman tuntutan pengadilan. Contohnya isu ligitasi yang terkait dengan masalah kasus pembalakan liar (illegal logging) terhadap pembabatan kelestarian hutan lindung, dan termasuk produk rokok, khususnya bahan baku berasal dari daun tembakau akan terkena peraturan pajak yang tinggi sebagai upaya menghentikan kebiasaan merokok ditempat umum yang menimbulkan polusi udara.

4. Risiko Reputasi Perusahaan
The Carbon Trust, konsultan independen di Inggris telah menemukan bahwa beberapa nilai merek yang berisiko menimbulkan persepsi negatif yang terkait dengan isu terjadinya perubahan iklim, misalnya produk menggunakan air spray (bahan gas semprot) seperti keperluan untuk cat, kosmetika, dan farfum, freon sebagai bahan untuk penyejuk ruangan yang sekarang dianggap dapat menimbulkan efek gas rumah kaca dan hingga terjadi perubahan cuaca atau pemanasan global. Maka pemecahannya adalah produsen harus mengubah penggunaan bahan kimia berbahaya tersebut dicari melalui bahan-bahan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sekaligus menciptakan reputasi positif bagi perusahaan bersangkutan di mata masyarakat maupun konsumennya.

5. Risiko Fisik
Risiko fisik secara langsung dapat dirasakan dampaknya oleh perusahaan, misalnya menghadapi resiko perubahan cuaca, musim kebanjiran atau kemarau berkepanjangan , adanya badai, gelombang pasang dan hingga terjadinya gempa bumi. Sebagai akibatnya, dapat menimbul kerusakan fisik atas produknya, adanya keterlambatan pengiriman barang melalui laut dan jalan darat akan terjadi kerusakan atau bahan makanan menjadi busuk sebagai akibat musim banjir dan gelombang pasang. Contoh lainnya, produsen ayam goreng (Kentucky fried chicken) terjadi penurunan pembeli sebagai akibat merebaknya isu flu burung (avian influenza). Bahkan ada berpendapat bahwa meluasnya isu flu burung di berbagai daerah tersebut yang hingga kini sulit diatasi sebagai akibat dari perubahan cuaca yang tidak menentu atau kesadaran masyarakat memiliki unggas kurang memahami dalam mengantisipasi penyakit kasus flu burung secara tuntas.

CSR Seri 5 & 6

Minggu, 14 Desember 2008



SISTEMATIKA PROGRAM
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Oleh Rosady Ruslan


A. PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Berbagai kegiatan perusahaan melalui program tanggung jawab sosialnya atau sering disebut dengan program kedermawanan perusahaan (CSR), yaitu secara umum bahwa pelaksaanaan oleh suatu perusahaan terdapat beberapa model, antara lain: pertama, yaitu keterlibatan perusahaan secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan kepedulian tanggung jawab sosial atau menyerahkan sumbangannya kepada masyarakat yang sangat memerlukannya tanpa melalui perantara dan dapat juga diserahkan melalui pihak ketiga (media massa, yayasan sosial, LSM dan lembaga non profit atau keagamaan). Kedua, melalui pembentukan yayasan sosial atau organisasi kedermawanan dibawah naungan kelembagaan khusus dalam suatu organisasi perusahaan yang bersangkutan. Ketiga, bermitra dengan lembaga sosial lainnya dalam mengelola dan menyalurkan sumbangan sosial atau kegiatan tanggung jawab sosial melalui kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga perguruan tinggi, organisasi non profit, LSM, lembaga keagamaan dan hingga mempercayakan bantuan sosial ke media massa, baik media cetak maupun elektronik. Keempat, kegiatan perusahaan yang ikut berpartisipasi atau bergabung dengan suatu konsorsium kepedulian sosial-masyarakat, seperti ikut mendirikan dana mitra lingkungan (DML) suatu lembaga yayasan nir laba (LSM) yang dibentuk oleh beberapa perusahaan atau tokoh eksekutif yang peduli lingkungan alam terhadap masalah (1) pencemaran industri (
brown issue), dan (2) berpartisipasi mengkampanyekan program pelestarian fauna dan flora (green issue).
Melalui program CSR tersebut adalah merupakan win-win resulting (menghasilkan saling bermanfaat bersama) antara pihak perusahaan, pemerintah dan masyarakat setempat (komuniti lokal), sehingga mampu mencapai community acceptability yang berpengaruh terhadap perusahaan dalam menciptakan sustainability of business. Misalnya perusahaan produsen rokok Sampoerna yang dianggap sebagai produk yang membahayakan kesehatan masyarakat, namun melalui program CSR yang meliputi aspek tanggung jawab (sosial-lingkungan-ekonomi), maka merek Sampoerna dapat diterima oleh masyarakat, menjaga hubungan baik dan sekaligus mampu mengurangi gangguan dari masyarakat yang relatif cukup kecil.
Sehubungan dengan dana yang dialokasikan untuk program CSR bagi setiap perusahaan yang saling berbeda besarannya, dari mulai Rp100 juta dan hingga Rp 10 milyar melalui program baik waktu jangka pendek (1-3 tahun) maupun jangka panjang dengan sharing sampai kurun waktu 10-15 tahun, yaitu dimana khalayak sasaran yang dibantu tersebut diharapkan dapat melaksanakan usaha mandiri, bisa jadi kegiatan CSR tersebut dapat dilakukan oleh pihak perusahaan, melibatkan partisipasi peserta, dan kerja sama atau kemitraan dengan pihak ke-tiga, seperti LSM, kalangan lembaga pendidikan, dan balai penelitian untuk menyukseskan program CSR.
Artinya, untuk menyukseskan pelaksanaan program CSR ersebut diperlukan koordinasi dan kerja sama melalui partnership (kemitraan) yang erat dengan stakeholder, penggiat (pihak ke-3) dan pihak perusahaan. Tetapi terdapat kelemahan dalam pelaporan kelanjutan program CSR telah dilaksanakan setiap perusahaan belum sesuai dengan standar dari CSR Publication & Reporting atau sesuai dengan prosedur lembaga GRI (Global Reporting Initiative) yang berdiri sejak tahun 1977 dan berpusat di Belanda, misalnya berbentuk istilah teknis pelaporan kelanjutan (sustainability report), social report, environtmental report, atau social and environtmental report. Karena peraturan GRI tersebut belum resmi diratifikasi oleh pihak pemerintah, maka tidak heran pelaporan CSR oleh setiap perusahaan, dan terbanyak dipergunakan untuk kepentingan dari laporan internal program CSR.

1. Unsur-Unsur Pelaksanaan Program CSR
Sebetulnya untuk merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang keberhasilan program CSR akan ditentukan sebagai bagian kegiatan utama bisnisnya suatu perusahaan, yang melalui konsep triple bottom line, menurut Elkington (1997), yang dikenal dengan “formula 3-P” yaitu terdiri unsur-unsur; people (kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial-masyarakat) , profit (berupaya mencari atau mencapai keuntungan bagi perusahaan), dan planet safe (kemampuan perusahaan demi menjaga kelestarian alam/bumi).
Perpaduan dari pengertian ‘3-P’ yang telah dibahas sebelumnya, dan merupakan prinsip dasar pelaksanaan corporate social responsibility (CSR), dan bagaimana bentuk pelaksanaan program tanggung jawab sosial tersebut selanjutnya, dan terdapat dua bentuk konsep dasar CSR, yaitu sebagai berikut:

a) Melalui program philantrophy (filantropi) atau kedermawanan perusahaan, dan dengan memfasilitasi kegiatannya berbentuk program yang terencana baik, tersedianya dana secara khusus, serta pelaksanaan program kegiatan yang terarah bersifat jangka panjang dengan khalayak sasaran yang dituju sudah ditetapkan oleh CSR-perusahaan. Seperti program community development (pengembangan komuniti) yang terkait dengan pelaksanaan program kegiatan sosial lainnya seperti, program community empowering (pemberdayaan komuniti), hingga community relationship (membangun hubungan komuniti yang baik) dan community services (pelayanan komuniti).
b) Program kepedulian sosial dalam jangka pendek, yaitu disebut dengan istilah charity (karitas) yang tidak terencana dengan baik dan biasanya kegiatan kepedulian sosial yang bersifat spontanitas (mendadak), misalnya kepedulian terhadap para korban yang terkena musibah bencana alam atau khalayak masyarakat miskin lainnya yang membutuhkan bantuan dengan segera.

Meskipun ke-dua bentuk program CSR tersebut saling berbeda tetapi sebenarnya adalah mengandung arti yang sama, yaitu menampilkan rasa keikhlasan baik secara individu maupun kelembagaan (organisasi) untuk menunjukkan rasa kepedulian atau kedermawanan sosialnya.

2. Sitematika dan Karakteristik Program CSR
Tetapi pengertian secara konseptual terdapat perbedaan, menurut PIRAC-Public Interest Research and Advocacy Center (2003 : 22), yaitu pertama, program corporate philanthropic.
Pengertian program tanggung jawab perusahaan dan kepedulian sosial, yaitu philanthropy itu sendiri berasal dari bahasa Yunani (Kamus Internasional. Jakarta. Raliby, Osman 1982:410 ), yang terdiri gabungan kata philos berarti mencintai, dan anthropos yang berarti manusia. Maka pengertian sesungguhnya dari filantropi (philanthropy) pada dasarnya adalah memiliki arti ‘rasa mencintai terhadap sesama manusia.’ Philanthropis, yang berarti adalah bersifat penuh kasih sayang sesama manusia.


Penjelasan Sistematika dan Karakteristik Program CSR,yaitu sbb:

A. PROGRAM PHILANTRHOPY (Program CSR Jangka panjang)

Pengembangan & Pemberdayaan Komuniti
1. Community Development Program
(Program Pengembangan Komuniti)
2. Community Empowering
(Program Pemberdayaan Komuniti)
3. Community Relations
(Program Hubungan Komuniti)
4. Community Services
(Program Pelayanan Sosial Komuniti)


B. PROGRAM CHARITY (Program jangka Pendek)

Membantu Masyarakat Miskin

1. Special Event & Social Activity
(Kegiatan acara khusus amal sosial)
2. Charitable Contribution Social
(Bantuan Amal Sosial)
3. Contribution Fund
(Bantuan Dana Amal)
4. Volunteer Activities
(Aktivitas Relawan)
Penjelasan Program Pilanthropy
Penjelasan mengenai sistematika pelaksanaan program philantrhopy dengan kegiatan perencanaan kedermawanan sosial dalam waktu jangka panjang dan ruang lingkup dari programnya, yaitu berbentuk community development (Comdev), dan bahwa pengertian dari community development menurut Rubin, J. Herbet and Rubin, S. Irene (1992:6), yaitu;
Community development involves local empowerment through organized groups of people acting collectively to control decisions, projects, programs and policies that affect them as community. Artinya, secara umum bahwa pengembangan komuniti yang melibatkan pemberdayaan lokal melalui suatu kelompok masyarakat yang terorganisir dengan aktivitasnya untuk mengontrol keputusan, pelaksanaan proyek, program dan kebijakan yang dapat mempengaruhinya mereka sebagai khalayak komuniti sasaran. Menurut Budimanta (2003:43) yaitu terdapat tiga aspek program pengembangan komuniti (Comdev), antara lain sebagai berikut :
2. Community Empowering
Merupakan program pemberdayaan yang terkait dengan akses yang lebih luas terhadap komuniti untuk menunjang kemandiriannya. Seperti pengembangan atau penguatan kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, dan komuniti lokal dalam meningkatkan kegiatan usaha mandirinya, serta termasuk pemberdayaan organisasi profesi untuk meningkatkan kapasitas usahanya yang berbasiskan sumber daya setempat (resources based).
3. Community Relations
Yaitu merupakan program peningkatan hubungan komuniti dalam kegiatan yang menyangkut pengembangan komunikasi dan informasi kepada pihak-pihak yang terkait langsung, seperti program konsultasi publik, penyuluhan atau penerangan aktivitas kemasyarakatan (sosial) dan lain sebagainya antara lembaga pemerintah atau organisasi (perusahaan swasta) dengan pihak komuniti sebagai khalayak sasaran program comdev.
Tujuan yang sesungguhnya kegiatan program community relations yang efektif tersebut dalam praktik PR adalah untuk menciptakan opini publik yang menguntungkan terhadap eksistensi suatu perusahaan, dan sekaligus berupaya bagaimana menjadikan suatu perusahaan tersebut sebagai tetangga yang baik (a good corporate neighbour), dan saling bermanfaat dalam kegiatan kepedulian sosial bersama dilingkungan dimana hubungan komuniti itu berada.
4. Community Services
Merupakan pelayanan sosial perusahaan untuk memenuhi kepentingan komuniti, misalnya pembangunan fasilitas sosial (fasos), yaitu dengan membangun fasilitas sosial seperti tempat peribadatan, TPU (tempat pemakaman umum), sekolah, klinik kesehatan dan hingga penyuluhan mengenai peningkatan kualitas kesehatan dan sanitasi lingkungan yang baik. Sedangkan pengembangan fasilitas umum (Fasum), yaitu pembangunan atau peningkatan prasarana dan fasilitas jalanan umum dan transfortasi, penerangan umum, pasar dan sarana balai pertemuan kepentingan masyarakat lain sebagainya untuk kegiatan demi kepentingan umum komuniti di lokasi tertentu.
Menurut Rudito dan Budimanta (2003:28) pengertian umum community development, maka terjemahannya adalah ‘pengembangan komuniti’ yang merupakan kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Pada hakekatnya,
community development (Comdev) merupakan suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilaksanakan oleh suatu perusahaan, yang dapat bekerja sama dengan pemerintah pusat atau daerah terhadap program untuk pengembangan kehidupan komuniti sebagai khalayak sasaran program pembangunan yang berkelanjutan dan sebagai bagian dari pelaksanaan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Pengertian kata community tersebut menurut Rudito (2003:28) jika diterjemahkan tersebut akan terdapat dua istilah pengertian, yaitu ‘komuniti’ dan ‘komunitas’, antara lain sebagai berikut :
1) Komuniti
, adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya saling berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas, dan mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan peran dan aktivitasnya terhadap masing-masing para anggotanya. Misalnya, sebutan bagi kawasan Komuniti dalam arti luas yaitu: Komuniti Suku Baduy Dalam, Rangkasbitung-Banten, dan arti sempit adalah keberadaan komuniti yang bermukim di sekitar wilayah suatu perusahaan/industri.
2) Komunitas, dalam hal ini dengan digunakan istilah komunitas, karena mempunyai pengertian kelompok tertentu yang misalnya, berada dalam kondisi upacara dengan tidak menggunakan istilah status atau peran yang berlaku di masyarakat, dasar hubungannya adalah bersifat pribadi dan bukan peran yang telah ditetapkan dalam pranata sosial atau bersifat sakral. Misalnya, istilah komunitas lebih tepat disebutkan untuk kelompok penonton suatu pertandingan bola kaki (komunitas penonton bola kaki), atau boleh disebut dengan Komunitas Penggemar Komik Petualangan Tintin, karangan d’Andre Barret yang diterbitkan sejak tahun 1965 dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia (1985).

Penjelasan Program Charity (Kegiatan Amal atau Sumbangan Sosial)
Program jangka pendek, yaitu disebut dengan istilah charity (karitas) yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengertiannya, adalah kegiatan kedermawanan amal sosial yang bersifat spontanitas, dan tidak terencana baik dan sekaligus merupakan bagian dari bentuk pelaksanaan program CSR dengan menunjukan rasa keikhlasan baik kesadaran secara individu maupun kelembagaan (organisasi) mengenai kepedulian, dan bantuan amal atau menunjukan rasa kedermawanan sosialnya. Misalnya, kepedulian terhadap para korban yang terkena musibah bencana alam atau ingin membantu masyarakat yang tingkat kehidupan sosial dan ekonominya tergolong sangat masyarakat miskin (social and commonical marginal level).
Hal pelaksanaan dari program CSR tersebut diatas adalah terkait dengan tepat mengenai kampanye global tentang program kepedulian ‘Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia’ (International Day of Poverty Eradiction) yang diperingati setiap atau pada tanggal 17 Oktober 2007 lalu, diberbagai belahan dunia dan termasuk Indonesia yang mengusung tema kampanye, yaitu ‘Bangkit dan Suarakan’ sebagai upaya kesadaran masyarakat untuk melawan kemiskinan. Hari kampanye pemberantasan kemiskinan sedunia tersebut merupakan salah satu bagian dari delapan program MDGs (Millennium Development Goals) atau disebut tujuan pembangunan melenium tersebut yang diluncurkan UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada Oktober 2002 yang diikuti oleh 189 kepala negara-negara dunia.
Melihat bentuk program kedermawanan atau bantuan amal-sosial (Studi PIRAC. 2003 : 14) yang dilaksanakan oleh baik organisasi, perusahaan maupun kepedulian sosial secara individual yang bersifat spontanitas, insidentil dan jangka pendek, yaitu dapat berbentuk program :
a. Bantuan sumbangan tunai (fundraising) yang dikumpulkan secara bersama-sama oleh pihak organisasi atau individual yang secara spontanitas dan sukarela untuk memberikan dana bantuan amal kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkannya. Sumbangan tunai dalam bentuk hibah tunai, joint social care and promotion, koordinasi pengumpulan sumbangan tunai masyarakat atau iuran para anggota masyarakat yang dikumpulkan ke rekening bank tertentu, payroll giving dan hingga zakat perusahaan sebagainya.
b.Bantuan natura (in-kind), yaitu diberikan berbentuk barang atau produk kemasan makanan atau minuman, bantuan layanan jasa profesional, pakaian bekas yang layak pakai, fasilitas layanan kesehatan dan keterlibatan sosial, bentuk fasilitas perlengkapan tertentu dari perusahaan atau kelembagaan perguruan tinggi dan sebagainya, dalam kegiatan memberikan bantuan relawan (volunteer) dalam kegiatan kepedulian amal sosial tertentu, misalnya membuat tenda darurat, tim posko darurat, tim SAR dan bantuan tim medis atau bantuan tenaga relawan lain sebagainya.
Penjelasan mengenai kegiatan bantuan amal atau kegiatan program karitas (charity program), menurut Cutlip & Center (1982) terdapat lebih kurang terdapat 12 kegiatan dari tujuan community program, tetapi yang ditampilkan dalam pembahasan ini adalah beberapa kegiatan yang terkait dengan program karitas atau bantuan amal sosial, yaitu sebagai berikut:
a). Charitable constribution program, yaitu program bantuan kegiatan amal (karitas) melalui hubungan kemitraan untuk manfaat bersama melalui program amal bantuan meningkatkan kesejahteraan sosial komuniti dan masyarakat miskin atau pihak korban terkena bencana alam yang terkoordinir oleh kelompok LSM, lembaga perguruan tinggi, keagamaan, dan hingga instansi pemerintah.
b). Constribution fundraising, yaitu kegiatan bantuan dana sosial yang dilakukan pengumpulan dana secara kelompok individual atau kelembagaan, dan dapat juga melalui bantuan dari pemerintah berbentuk dana JPS (Jaring Pengaman Sosial – social safety net), seperti dilaksanakan pada masa awal terjadinya krisis ekonomi dan moneter awal tahun 1990-an lalu, khususnya terhadap masyarakat golongan sangat miskin yang terkena dampak krisis secara langsung. Atau program bantuan tunai langsung (BTL) bagi masyarakat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) 30% pada Mei 2008 yang dikoordinasikan melalui pusat hingga ke pemerintah daerah.
2. Penghargaan Perusahaan Mencapai Good Corporate Citizenship
Penilaian pengakuan atau penghargaan perusahaan yang mencapai tarap good corporate citizenship (kewargaan perusahaan yang baik), yaitu sebelumnya telah melaksanakan tahapan-tahapan program CSR, (Lihat: gambar Karakteristik dan Tahapan Program CSR diatas)), seperti tahap awal berbentuk, yaitu program; charity, philantrophy dan hingga tahap selanjutnya corporate citizenship, yang merupakan kegiatan CSR dari perusahaan-perusahaan yang selama ini berorintasi komersial, dan kini banyak mengarah menjadi perusahaan berorientasi demi kepentingan sosial dengan penilaian kualifikasi tertentu sebagai good corporate citizenship, yaitu sebagai berikut:
Perusahaan yang telah dikelola secara baik (good corporate governance) melalui prinsip-prinsip TIRAF, yaitu konsep transparency (transparansi), independenceaccountability (akuntabilitas), responsibility (pertanggungjawaban), dan fairness (keadilan atau kewajaran).
Perusahaan yang memiliki konsep program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan implementasinya melalui program karitas dan filantropi yang terencana baik, memiliki alokasi dana khusus atau membentuk kelembagaan tersendiri untuk melaksanakan kegiatan program CSR, dengan dukungan tim koordinasi secara efektif, efisien serta mengarah pada tujuan investasi sosial (corporate social investment-CSI), program pengembangan komuniti (community development), dan sekaligus sebagai program modal sosial (social capital) terhadap kepedulian pembangunan sosial yang berkelanjutan (sustainability social development).
Pengungkapan kinerja CSR melalui pelaporan berkelanjutan yang menjadi penting, dan khususnya membuat keputusan investasi jangka panjang, dengan melalui pelaporan kinerja CSR tersebut akan mencerminkan apakah perusahaan telah menjalankan akuntabilitas sosial dan lingkungan secara optimal atau tidak, yang sekaligus akan terungkap bahwa perusahaan bersangkutan apakah telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif, konsensus dan komitmen operasional usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan per-undang-undangan berlaku.
Pelaporan kinerja CSR tersebut akan mengungkapkan profile ringkas perusahaan (company profile) tentang visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan hingga perencanaan strategi perusahaan bersangkutan yang terkait dengan kinerja dari tolok ukur bidang ekonomi, lingkungan dan sosial. Parameter bagi tolok ukur kinerja pelaksanaan CSR itu dapat disimak, jika kinerja keuangan suatu perusahaan dalam laporan rugi-laba keuangan secara periodik, dan sedangkan kinerja program CSR dapat dilihat dari ‘laporan berkelanjutan’ (sustainability report). Secara praktik dapat menggunakan istilah lainnya, seperti laporan
(kemandirian), social report, environmental report, atau social and environtmental report, sesuai dengan prosedur laporan GRI (Global Reporting Initiative).
Perusahaan yang secara sukses sebagai warga negara yang baik dan sekaligus bagian dari masyarakatnya, dalam hal menjalankan program CSR adalah tercermin dengan memiliki tiga nilai-nilai dasar (core values) yang terdapat di dalam perusahaan yang bersangkutan, dengan indikator yaitu:
(1) aspek ketangguhan ekonomi, (2) tanggung jawab lingkungan, dan (3) akuntabilitas sosial.
Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan dan diterima sepenuhnya sebagai kewarganegaraan yang baik oleh masyarakat atau memperoleh penghargaan dari lembaga berwewenang untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program CSR, misalnya penghargaan pada tahun 2007 yang bertemakan;
The Best Social and Environment Reporting Awards 2007, Business Review Award 2007 dan Best Website dalam Indonesia Sustainability Reporting Awrads 2007, serta Social Empowerment Awards 2007, terhadap kebeberapa perusahaan industri pengelolaan sumber daya alam dan perusahaan telekomunikasi serta industri lainnya, karena proses evaluasi terhadap kegiatan CSR perusahaan tersebut cukup panjang atau laporannya yang layak dinilai telah berprestasi terbaik mengenai keberpihakan atas laporan pertumbuhan atau pertanggungjawaban sosial perusahaan.

--------to be continued Seri 7 & 8 ---------

DAFTAR PUSTAKA

Budimanta, Arif dkk. 2004.Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangun
an Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development
(ICSD).
Cutlip, Scott M. and Allen H. Center. 1982. Effective Public Relations. New Yersey. Prentice-Hall, Inc.
EBAR (Economics Business & Accounting Review), Journal. 2006. Corporate Social Responsibility. Jakarta: FE-UI, Departemen Akutansi
Galang, Filantropi dan Masyarakat Madani. Journal. 2006. Edisi Vol. 2 No.1, Oktober.
Filantropi Media dan Bencana di Indonesia. Jakarta: Penerbit PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).
Galang, Bulletin. Edisi pertama tahun II.Febuari 2002 dan Edisi ke-4 tahun III September
2003. Jakarta: Penerbit PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).
Jahja, Rusfadia Saktiyanti & Irvan, Muhammad. 2006. Menilai Tanggung Jawab Sosial
Televisi. Kota Depok : Piramedia
Kotler, Philip & Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause . New Jersey: Published by John Wiley & Sons, Inc.
Kotler, Philip & Armstrong, Gary. 1994 . Principles of Marketing. New Jersey: Prentice Hall, International Inc.
Marketing, Majalah. 2007. Edisi, November. No. 11/VII. Dari CSR ke Brand Social
Responsibility. Jakarta: PT Info Cahaya Hero.
Mix, Majalah. 2004. Edisi, 10 November - 08 Desember. Societal Marketing. Jakarta: Kelompok Swa.
Prasetya Mulya, Forum Manajemen. 2008. Vol. Juli-Agustus. Jakarta: Penerbit Prasetya Mulya, Business School
Rubin, Herbert J. & Irene S. Rubin.1992. Community Organizing & Development. (Second Edition). USA : Macmillan Publishing Company.
Rudito, Bambang. Adi Prasetijo dan Kusairi. 2003. Akses Peranserta Masyarakat, Lebih Jauh Memahami Community Development. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
Rudito, Bambang dan Arif Budiman. 2003. Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD).
Saidi, Zaim. 2003. Sumbangan Sosial Perusahaan. Jakarta: Penerbit Piramedia.
SWA, Majalah. 2005. Edisi 19 Sepetember . No. 26/XXI. Survey CSR 2005 Perusahaan Darmawan. Jakarta: Yayasan Sembada Swakarya.